DINY
Here she goes again.
Siklus kesedihan yang sungguh membuatnya merasa nelangsa. Mata bengkak, hidung berair dan kepala berat yang berdetam-detam. Mendekam di dalam selimut adalah zona nyamannya saat ini. Terakhir kali ia merasakan seperti ini adalah beberapa hari setelah Reza meninggalkan dirinya setelah malam bersalju itu. Hanya saja. kali ini terasa berbeda. Rasanya lebih sulit membayangkan Nicky meninggalkan kehidupannya.
Diny mendesah nafas panjang, mempertanyakan kenapa akhir-akhir ini hubungannya dengan Reza sepertinya dirundung banyak masalah. Mulai dari pertengkaran, ia yang akan mempunyai anak kedua sampai akhirnya diturunin dari mobil di kala hujan. Sudah dua tahun, atau lebih, ia melakukan ini tanpa masalah dan sekarang semuanya tiba-tiba meledak. Hingga ia menceritakan semuanya kepada Deny dan mendapatkan aksi diam yang membuatnya frustasi. Lalu kemarin, ketika Nicky mengatakan selamat tinggal, itu adalah puncaknya. Akhirnya, bom waktu itu telah meledak dan meluluh lantakkannya.
Terdengar ketukan di pintu dan ia mengintip dari balik selimut. Deny memasuki kamarnya dengan sudah mengenakan pakaian kerjanya. Berarti ini sudah hari Senin atau entahlah hari kerja yang keberapa dan ia masih berada di balik selimutnya dengan kaos dan celana pendek yang sama dengan hari terakhir kali ia mandi.
"Kamu enggak bisa kayak gini terus!" sentak Deny, menyalakan lampu kamarnya. Kemudian kembarannya itu menyibakkan selimutnya, yang cepat-cepat ditarik lagi oleh Diny. Deny meyilangkan tangan di depan dada, alisnya bertaut, raut wajahnya tampak kencang. Melihat itu, perlahan Diny bangkit dan duduk dengan bersandarkan bantal. Ia menundukkan kepala, mengantisipasi Deny yang ia tahu pasti akan mengomelinya.
"Din, ini udah berapa hari dari kejadian itu, ya. You have to move your ass off the bed! Mau sampai kapan kayak gini terus?!?" sentak Deny.
Beberapa hari? Memangnya sudah berapa hari dia kayak gini?
"Kamu enggak mandi dan makanpun cuma makan puding kemasan kamu itu. Memangnya kamu kira Nicky akan balik dengan sendirinya kalau kamu sok-sok dramatis kayak gini?!?"
Mendengar nama Nicky disebut, Diny langsung memberikan tatapan tajam kepada Deny. Sungguh hatinya masih mencelos setiap mendengar nama itu. Membuatnya mengingat setiap ucapan Nicky yang menamparnya dengan kenyataan dan raut wajahnya ketika ia mengucapkan selamat tinggal.
Tanpa sadar, air mata Diny menetes lagi. Ia meraung dan memeluk bantal. "Kenapa kamu harus sebut nama Nicky, siiih? Huaaaa...!!"
Boro-boro simpati, Deny malah berdecak kesal dan melemparnya dengan guling. "Terserah kamu mau bilang aku enggak peka atau apa, tapi kamu tahu kalau kamu sendiri yang menyebabkan ini, Din. Grow up, please. Belajar untuk menerima konsekuensi atas perbuatan kamu sendiri," tukas Deny.
Diny menatap saudara kembarnya itu dengan mata bengkak, kemudian ia berucap, "Little you know, Den. I've grown up. Aku tahu segala konsekuensi dari pilihan aku menjalani hubungan sama Reza. Tapi, Nicky belum ada di equation ketika aku mengambil pilihan itu. He is an anomali. Sebuah anomali yang membuat aku sesakit ini hanya dengan ucapan selamat tinggal."
Deny duduk di atas tempat tidur, meraih tangannya, "Aku enggak pintar untuk urusan seperti ini, Din. Aku enggak tahu harus berkata apa..."
"Kamu enggak perlu berkata apa-apa. I know my own stupidity..."
"Ya, aku percaya itu..." Deny terkekeh, membuat Dini tersenyum kecil. "Cuma, aku tahu satu hal. Dan, mungkin kamu juga tahu..."
"Apa?"
"Perasaan Nicky ke kamu... It's deeper than you think..." Deny tersenyum, menepuk-nepuk tangan saudari kembarnya. "Hanya saja, dia butuh waktu. Begitu juga kamu..."
![](https://img.wattpad.com/cover/203767075-288-k610728.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Come True
Romance[COMPLETED] Dua cerita cinta... Ada yang gila kerja dan penuh penyangkalan jika sudah menyangkut soal cinta. Ada yang menganggap cinta adalah petualangan hingga menyakiti dirinya sendiri. Kenapa emosi yang bernama cinta harus serumit ini?