DINY
Ia sudah bersiap dari pagi-pagi sekali. Dikenakannya gaun rancangan Elie Saab berwarna hydrangea blue yang berkibar dengan anggun di tubuhnya. Ia menata rambutnya dengan kepangan cantik dan memulas make-up di wajahnya. Ia juga sudah menyiapkan sepasang sepatu Manolo Blahnik untuk menghiasi kakinya.
Diny melihat dirinya di kaca, mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja dan ia terlihat cantik pagi ini.
Kemudian Diny keluar kamar dan mendapati Deny sedang menyeruput kopi, di tangannya terdapat iPad yang dilihatnya dengan raut serius. Begitu menyadari keberadaan kembarannya, Deny mendongakkan kepalanya.
"Keajaiban apalagi ini kamu Sabtu pagi gini udah dandan?" tanya Deny dengan alis bertaut. "Mau lembur ke kantor karena udah kelamaan bolos?" ledeknya.
"Please, deh. Kalau cuma ke kantor ngapain aku pakai dress Elie Saab dan Manolo..."
"Mau ketemu Nicky?" tanya Deny lagi dengan senyum jahil.
Diny menggeleng, kemudian ia tersenyum getir, "Kemarin aku hubungin Reza, bilang ada yang mau aku bicarain ke dia," ucap Diny lugas.
Jelas Deny terkejut, ia meletakkan cangkir kopinya dan iPad-nya, memberikan perhatian sepenuhnya ke Diny. "Terus?"
Maka berceritalah Diny yang dengan segenap keberanian, dan juga harga diri-nya yang tersisa, bagaimana ia mencoba untuk menghubungi Reza. Ke telepon rumahnya. Tentu saja diangkat oleh isterinya.
Horor.
Pertamanya Diny gelagapan, sebelum akhirnya ia bisa menguasai diri dan berkata bahwa ia adalah teman lama Reza di Beijing. Ia berkata yang sebenarnya, tentu saja.
Suara isteri Reza terdengar lembut dan ceria. Tampak tidak ada rasa curiga. Apa jadinya jika ia tahu bahwa yang menelepon adalah wanita lain dalam kehidupan suaminya?
Belum pernah Diny merasa sejijik itu terhadap dirinya sendiri. Ia mengepalkan tangan, berusaha mengatur nafasnya agar dapat menguatkan dirinya sendiri. Harga dirinya tidak lagi mengijinkannya Reza mendengar suara isakannya.
Saat suara Reza terdengar, lidahnya terasa kelu. Ia berkata "Halo," dengan perlahan dan terdengar tarikan nafas terkejut Reza di seberang sana, sehingga membuat Diny mengira bahwa Reza sedang merasa sedikit panik.
Cepat-cepat Diny mengatakan maksud menghubunginya, "Aku ingin bicara. Besok jam 10 pagi di Galley. Aku akan terus menunggu kamu di sana. Tidak akan beranjak sampai kamu datang," ucap Diny terbata-bata, lalu ia segera menutup teleponnya, tanpa menunggu balasan dari pria itu.
Ia termenung lama setelah itu, menata kembali memori-nya, mencoba merasakan kembali semua hal yang telah diberikan Reza untuknya.
Itu terasa menyakitkan.
Bukan karena seluruh kenangannya dengan Reza, tetapi karena rasa bersalah yang perlahan menyelimutinya. Karena serangan kenyataan yang menyerangnya bertubi-tubi di setiap ingatan akan waktu yang dia habiskan bersama dengan Reza. Karena merasa bodoh telah percaya kepada satu cinta yang rapuh, yang tidak akan berlanjut kemana-mana meskipun dengan seribu pembenaran sekalipun.
Tetapi, ia sudah cukup dengan semua itu. Ia harus berhenti mencari pembenaran dari sesuatu yang jelas-jelas melukai dirinya sendiri dan orang lain. Sekarang saatnya menghadapi serangan dan rasa sakit itu dengan perasaan baru yang sedang menyelimutinya. Perasaan yang ia yakini mampu membawa senyuman dalam dirinya kembali.
"Kamu yakin kamu siap?" tanya Deny ragu-ragu. Pertanyaan yang membuyarkan lamunannya.
Diny menggeleng, "Aku enggak tahu..." ucapnya, mendesahkan nafasnya. "Aku sudah mencintai dia – atau berpikir aku mencintai dia – selama dua tahun ini. Jadi, aku enggak tahu apakah nanti saat bertemu dengannya aku akan kembali luruh seperti saat ia memintaku untuk bersamanya," ucapnya lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Come True
Roman d'amour[COMPLETED] Dua cerita cinta... Ada yang gila kerja dan penuh penyangkalan jika sudah menyangkut soal cinta. Ada yang menganggap cinta adalah petualangan hingga menyakiti dirinya sendiri. Kenapa emosi yang bernama cinta harus serumit ini?