Chapter 10 The Mother

4.5K 493 22
                                    

DENY

Ia baru saja selesai meeting ketika ponsel-nya berbunyi. Sempat ada keengganan untuk mengangkat ketika ia melihat nomornya, tetapi ia tidak mungkin menghindar terus. Ponsel-nya terus berdering sampai ia masuk ke dalam ruangannya. Deny menarik nafas 3 kali sebelum menjawab, "Halo, Bunda..."

"Lama sekali, sih kamu ngangkat teleponnya," terdengar nada sengit dari sang Bunda. "Entar malam Bunda mau ke apartment kamu. Kamu pulang jam berapa?" tanya Bunda-nya tanpa basa-basi.

Deny memutar bola matanya, ia tahu jika Bunda ke apartment berarti ada yang mau dibicarakan. Ia mencoba mengeles, "Aduh, aku enggak pernah tahu aku pulang jam berapa, Bun."

"Ya, sudah Bunda ngomong sekarang saja," ucap Bunda-nya cepat.

Perasaan Deny benar-benar enggak enak soal ini. Ada alasan tertentu kenapa ia selalu menghindar jika disuruh menelepon Bunda.

"Jadi kapan kamu mau bawa wanita itu ke rumah. Itu looh wanita yang kencan sama kamu hari Sabtu. Jangan ikut-ikutan Diny dengan enggak mau kenalin calon kamu, ya!" seru Bunda-nya to the point.

Kepala Deny langsung berputar seketika. Bagaimana Bunda bisa tahu tentang "kencan"-nya hari Sabtu kemarin? Ia bertanya-tanya sebelum sadar ia mempunyai saudari kembar bermulut besar. Ia akan mencincang Diny dengan Longclaw!

"Itu... sama sekali... bukan kencan atau apapun yang Bunda pikirkan..." ucapnya lamat-lamat, memberi penekanan pada setiap kata sekaligus menekan rasa gemasnya terhadap Diny.

Inilah yang membuat Deny akhir-akhir ini malas bicara dengan Bunda-nya. Biasanya Bunda selalu lemah lembut dalam bertutur dan cenderung pemalu, tetapi setelah beberapa bulan yang lalu menghadiri pernikahan keponakannya yang berumur 5 tahun lebih muda daripada Diny dan Deny dan diperparah dengan Diny yang masih belum membawa Reza ke rumah, Bunda menjadi sedikit cerewet soal jodoh.

"Tuh, kan kamu menghindar lagi. Bunda mengerti pekerjaan adalah prioritas utama kamu, tetapi kamu juga harus memikirkan tentang teman hidup. Pekerjaan enggak akan menemani kamu di saat sulit atau mengurus kamu ketika tua nanti," ujar Bundanya dengan nada lebih lembut.

Jujur, nasihat Bunda barusan begitu menyesakkan hatinya. Menyadari bahwa selama ini ia tidak pernah memikirkan sesuatu yang Bunda sebut sebagai "teman hidup". Ia tidak percaya ada hal seperti itu di dunia ini. Kenyataannya di dunia ini tidak ada yang bertahan selamanya. Tetapi, setelah kemarin bersama dengan Karina, ia mulai meragukan pemikirannya. Ajaib bagaimana gadis itu bisa menarik dirinya keluar dari pikiran gelapnya soal kehidupan. Bukan berarti sekarang ia berubah dan berada di jalan cahaya. Ia tetap berpikir di dunia ini tak ada yang abadi, namun ia ingin punya waktu yang cukup lama untuk terus bersama dengan Karina.

Oleh karena itu, setelah berdiam cukup lama akhirnya ia berkata, "Bunda, sebenarnya aku masih belum yakin dengan apa yang aku rasakan sekarang, tetapi aku rasa ini layak diperjuangkan..."

Deny bisa merasakan Bunda-nya tersenyum ketika mendengarnya.

DINY

Diny merasa ada yang salah dengannya setelah malam itu. Dia umur 28 tahun, sudah punya banyak pengalaman soal pacaran, bahkan sekarang jadi selingkuhan salah satu pria tertampan di Jakarta, tetapi ia masih bisa blushing dengan begitu parahnya mendengar kalimat sederhana dari sahabatnya.

Ya, sahabatnya yang kebetulan adalah seorang cowok geek berkacamata frame hitam tebal, berwajah tampan dengan rambut gelap yang fluffy serta badan dan kaki jenjang yang sempurna itu.

Baiklah, ia mulai berpikiran seperti anak ABG yang sedang membayangkan cowok idaman mereka sambil menulis fan fiction.

Jika dipikir-pikir sepertinya baru sekarang ia merasakan hal seperti ini setelah ia bertemu dengan Nicky. Mungkin ini karena ucapan Nicky beberapa hari yang lalu.

Two Come TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang