"Aku buka orang baik. Tapi, aku terlalu brengsek jika membiarkan air mata mengalir di pipi mu"
Zahra tampak duduk termenung disamping kasur Romi.
Setelah perdebatannya dengan dokter tadi membuat ia tak mau meninggalkan Romi barang sedetikpun.Flashback on
"Maaf sepertinya kami akan mencabut alat-alat ini. Kami tidak bisa menolong pasien"
"Jangan. Jangan copot alat itu dari tubuh suami saya. Bahkan saya bisa membelinya kalau harus." Kata Zahra menggebu-gebu.
"Tapi nyonya, kami tidak bisa menjamin pasien. Mungkin ini hanya akan menghabiskan uang anda."
Mendengar itu, membuat emosi Zahra semakin meningkat. Bagaimana bisa dokter di depannya ini mengatakan demikian.
"Apa urusannya uang saya dengan anda. Laksanakan tugas sebagai mana mestinya. Mau uang saya habis, mau saya jadi gembel. Itu tidak ada kaitannya dengan anda. Anda hanya perlu kerja, dan saya akan bayar. FAHAM?" sentaknya membuat sang dokter takut.
"Ba-baik nyonya, saya akan melakukannya.
Hanya saja ada yang harus saya katakan. Mari ikut saya ke ruangan"Zahra, Nisa dan bunda Romi mengikuti langkah dokter tadi.
Ia memasuki ruangan, yang sepertinya adalah ruang pribadi dokter itu.Sementara Roy dan Deni, menunggu Romi di ruangan tadi.
Zahra memperhatikan dokter yang sedang membuka-buka berkas di depannya. Ia masih duduk di kursi roda dan di dampingi oleh dua orang disisinya, yakni ibu dan bundanya.
"Jadi begini. Peluru yang mengenai tubuh tuan, hampir saja mengenai organ di dalamnya. Itu yang membuat ia koma seperti saat ini."
"Untuk kemungkinan bisa sadar berapa persen dok?".
"Sangat kecil sekali, yakni hanya 10 persen. Itulah yang membuat saya hampir menyerah tadi. Saya mohon maaf"
"Baik, tidak masalah. Apakah ada kemungkinan lain yang akan di alami suami saya?"
"Akibat benturan di kepala pasien, itu mungkin akan mengakibatkan ia kehilangan sebagian ingatannya. Namun itu masih Fifty-Fifty, saya belum bisa memastikannya jika pasien belum sadarkan diri. Itu masih sekedar dugaan, karna benturan yang di dapatkan cukup keras."
Bagai tersayat belati, ucapan dokter tadi mampu membuat tubuh Zahra lemas. Kenapa ia dihadapkan dengan masalah sebesar ini? Rasanya ia tak mampu hidup ya tuhan.
Flashback off.
"Zahra, anakmu butuh asi nak" kata Nisa sambil menyodorkan bayi mungil.
"Iya Bu, nanti Zahra kasih asi nya"
Ibunya lantas meninggalkan mereka bertiga di dalam ruangan itu.
"Mas. Ini anak kita. Dia udah lahir. Kamu masih betah tidur seperti ini? Apa kamu tidak mau menggendong anak kita?" Katanya sambil mengelus Romi.
"Dia mirip kamu mas. Tapi yang cowok mirip aku. Lihat lah, ini bayi kita yang perempuan. Sangat cantik walau mirip ayahnya yang ganteng." Tangannya tak tinggal diam, ia lantas mengelus bayi di gendongannya.
"Aku ke ruang sebelah ya mas. Aku mau beri anak kita asi. Nanti ada yang temenin kamu disini kok, kamu gak usah khawatir. Kamu cepat sadar supaya bisa lihat anak kita"
"Oh iya mas, satu lagi. Aku bakal terima apapun keadaan kamu kalo kamu sadar. Aku nggak takut soal prediksi dokter. Karna aku yakin kekuatan cinta kita bisa mengalahkan itu. Dan aku yakin kita bakalan besarin anak kita bareng-bareng. Aku pamit dulu ya, takut mereka berdua lapar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki Pilihan (Selesai)
Ficção AdolescenteCara orang menyampaikan cintanya itu berbeda. Dan kamu tidak perlu menjadi sempurna untuk dicintai. Lalu, cinta dulu baru menikah? menikah dulu baru cinta? Atau bahkan tidak perlu mencintai? ***Masalah dalam hubungan, tidak di alami oleh siswa SMA...