Chapter 33

14 2 5
                                    


Stella pov.

Angin berhembus kencang mencoba menyapu ramput pirang milik Stella berhamburan mengenai wajahnya. Beberapa kali dia menyelipkan rambut bagian depan ke telinganya. Hari itu dia lupa membawa ikat rambut, tidak lupa namun tepatnya hilang. Pantatnya merasa panas setelah tersandung mengejar Faki, kerikil tajam mencoba beradu dengan jelana jeans miliknya. Dilihatnya luka jahitan yang berdarah, dia kembali mengelapnya dengan beberapa tisu yang ada di kantong celananya.

Seseorang datang dari arah belakang, menghampirinya. Jantung Stella berdegub kencang sembari mendengarkan langkah kakinya yang pelan. Stella berpikir bisa jadi orang jahat menghantuinya dan ingin mencekam dia dari belakang lalu membunuhnya.

"Nak," suara itu milik Hasan. Stella menoleh dengan rambut yang berantakan karena angin terus berembus.

Saat Hasan melihat kaki Stella, dia panik dan berusaha melihat kakinya yang luka itu. "Jahitannya kok gini?" Tanyanya dengan raut wajah bingung, serta khawatir.

"Memangnya salah ya?" Ujar Stella sambil nyengir kuda.

Hasan menatap sendu Stella, wajahnya yang kusam terkena debu tidak melunturkan paras cantik anaknya itu. Hasan merasa begitu merindu dengan perkembangan anaknya yang terlewatkan. Bahkan, tak pernah bertemu belasan tahun lamanya.

"Kenapa?" Stella mencoba menyadarkan Hasan yang melamun.

"Kamu jahit luka ini sendiri?"

Stella mengangguk. Hasan mengerutkan dahinya. " kamu bukan mahasiswa kedokterankan?"

Stella menggeleng.

"Bagaimana bisa?" Hasan bertanya sembari tangannya mengecek kaki Stella yang keluar darah.

"Rabetta yang ngajarin." Stella bergumam.

Hasan menggeleng kepalanya. Dia benar-benar takjub kepada anaknya sendiri.

"Ayo, Ayah gendong ke klinik. Takut infeksi." Suaranya terdengar khawatir.

Stella terkejut, dia sudah besar dan harus digendong, rasanya memalukan. Tapi sekali seumur hidupnya Stella tidak pernah melakukan hal itu.

"Malu?" Ledek Hasan dengan senyum yang mengembang.

"Aku bisa jalan kok."

"Ya udah coba berdiri dulu." Perintah Hasan karena dia tahu dengan luka itu Stella akan susah bangun. Belum lagi pantatnya yang berada di kumpulan kerikil tajam.

Stella mencoba berdiri, namun tangannya tak kuat menahan beban tubuhnya, mulut kecilnya terus saja menyemangati diri agar bisa, beberapa kali mencoba berdiri namun hasilnya nihil. Kakinya sakit saat ditekuk, tangannya merasa lemas seperti tak bertulang.

"Tak bisa kah kamu memberi kesemptan Ayahmu menggendong putrinya?" Tanya Hasan dengan membantu Stella berdiri, meskipun terlihat sudah tua namun dia masih kuat dan sehat.

Setelah berhasil berdiri, akhirnya Hasan memapah Stella berjalan.

"Rumah sakitnya jauh?" Tanya Stella cemas.

"Ke rumah bu bidan. Dekat kok, tuh dua rumah lagi kita sampai." Terang Hasan yang fokus memapah Stella.

Langkah Stella terhenti, diikuti dengan langkah Hasan juga. Hasan kini menatap wajah Stella seolah menayakan mengapa mereka berhenti.

"Aku mau digendong." Ucapan Stella tak terlihat seperti anak yang manja, namun kaku karena pertama melakukan ini kepada Ayahnya.

Hasan langsung menggendong Stella menuju rumah bidan yang ada di dekat rumahnya itu. Di desa seperti ini, jarak ke rumah sakit jauh. Klinik tak ada, satu-satunya yang ada adalah bidan. Bidan disini tak hanya membantu orang melahirkan, namun menerima semua pasien. Mulai dari anak kecil sampai lansia. Stella yang tak tahu ini hanya menggeleng pasrah. Daripada lukanya makin parah, lebih baik dirawat sama ahlinya. Seenganya bidan kan bisa jahit luka.

_____

Rest BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang