BAB 1

2.5K 160 50
                                    

Jenuh, satu kata yang mewakili perasaan Aluna saat ini. Waktu terasa berdetik sangat cepat kala ia masih ingin bersembunyi di balik selimutnya. Suara dentuman jam dinding bolak-balik menggema di rumah sunyi itu. Aluna sendiri merasa bosan, kehidupannya bahkan terasa sangat klise dari kehidupan normal biasanya.

Mungkin akan sama seperti sebelumnya, dimana Aluna akan ke sekolah kemudian diteriaki berbagai macam gunjingan. Bahkan orangtuanya pun merasa jijik dan ngeri jika harus berdekatan dengan gadis berambut hitam kecoklatan itu.

Waktu kembali terasa berhenti berdetik ketika gadis itu melewati koridor yang mendadak sepi. Bukan karena ia datang terlalu pagi, melainkan orang-orang menjauhinya antara sebab takut atau jijik seperti orangtuanya. Sangat miris untuk kehidupan anak berusia 18 tahun.

Kadang Aluna merasa tidak diperlukan di dunia ini, terlebih saat sang kakak pergi meninggalkannya untuk bekerja di luar kota, di perusahaan keluarganya. Setiap orang yang menggunjingnya seakan sebagai raksasa yang berkali-kali lipat besarnya dari Aluna. Sedangkan Aluna merasa dirinya sebagai kurcaci kecil di tengah-tengah mereka.

"Si monster datang, dia datang!"

"Kenapa dia nggak pindah aja, sih? Atau berhenti sekolah gitu."

"Pasti orangtuanya nyesel ngelahirin dia makanya ditinggal sebatang kara."

Aluna bergeming, sudah biasa baginya jika harus mendengar kata-kata menyakitkan setiap hari. Aluna juga tidak peduli jika mereka selalu menyebut 'pasti orangtuanya nyesel ngelahirin dia', karena sejatinya memang seperti itu. Untuk datang mengunjungi Aluna saja kemungkinan hanya setahun sekali.

Walaupun terkadang oksigen di sekitarnya terasa menipis, sekuat hati Aluna mencoba untuk menepis segala hal yang mengganggu pikirannya. Gadis itu berjalan memasuki kelas dan berhenti tepat di sebuah meja yang dipenuhi debu. Bahkan ada tulisan yang diukir dengan indah di sana, membuat dirinya kerap kali merasa muak.

Aluna sangat tahu jika ini perbuatan teman sekelasnya. Mereka memang suka mencari gara-gara dengan Aluna. Tanpa bosan mereka selalu mengukir kata 'monster' dan hal lain yang serupa.

Segera Aluna meletakkan tas coklatnya sesaat setelah membersihkan debu yang sengaja dihamburkan di atas meja dan kursi. Kemudian ia duduk dengan tenang di pojok dekat jendela. Di tempat yang seharusnya dihuni oleh dua orang, Aluna sendiri di sana semenjak kelas 10.

Bel masuk berdering dengan nyaring di setiap indra pendengaran. Satu persatu siswa-siswi yang berkeliaran memasuki ruang kelas masing-masing. Begitu pun bu Renata yang menyusul dengan menenteng beberapa buku paket menuju kelas Aluna.

"Pagi anak-anak!" sapanya dengan tersenyum manis seperti biasa. Penggaris panjang untuk menakuti siswa yang nakal tidak pernah absen dari tangan nona muda itu.

"Pagi, Bu!" sahut anak kelas 12 IPA-2.

"Hari ini kita kedatangan murid baru ...."

Sementara bu Renata masih berbicara panjang lebar entah kemana, di tempat duduknya Aluna mulai gelisah. Dadanya terasa sesak, badannya terasa mulai tak berdaya.

"Bu!"

Semua penghuni kelas otomatis menoleh ke arah Aluna yang baru saja memotong pembicaraan bu Renata.

"Ada apa, Aluna?" tanya Bu Renata.

"Izin ke toilet, Bu." Aluna berkata cukup pelan, tetapi karena suasana kelas yang hening, suara itu seakan naik satu oktaf.

"Baiklah, cepat kembali."

Aluna beranjak dari tempat duduknya kemudian berjalan menuju luar kelas. Tentu saja siswa-siswi di sana tidak biasa-biasa saja. Mereka masih sempat-sempatnya membicarakan Aluna pada saat ada Bu Renata meski sudah diperingatkan untuk diam.

Di dekat pintu, Aluna sempat bertemu dengan seorang pria yang ia tengok sekilas wajahnya. Tampangnya biasa saja dengan rambut yang sedikit acak-acakan dan baju yang satu kancing tidak dipasangkan dengan sengaja. Pria itu juga sempat menatap Aluna, tetapi tidak berangsur lama lantaran Aluna yang segera melarikan diri ke toilet.

***

Aluna membasuh wajahnya dengan air wastafel yang mengalir seraya menenangkan diri. Ia tidak mengidap penyakit apa-apa, hanya saja keresahan bercampur dengan hari pertama PMS membuatnya sedikit kelelahan menghadapi segalanya.

Aluna beralih menyenderkan tubuhnya ke dinding lalu perlahan menurun hingga terduduk di lantai. Keadaan toilet sangat sepi lantaran masih jam pelajaran. Perlahan semerbak khas menyeruak kemana-mana hingga menusuk indra penciuman Aluna. Setetes darah yang mengenai seragamnya sontak membuat gadis itu bangkit. Biasanya jika Aluna mimisan, beberapa mata akan mulai terarah kepadanya hingga berujung pada Aluna yang tak sadarkan diri.

Namun, sedikit perbedaan ini membuat Aluna terheran-heran. Ia tidak pingsan dan malah melihat jelas sesuatu yang tak seharusnya dilihat. Bulu kuduk Aluna merinding, perlahan rongga dadanya terasa hangat dan sempit saat sesosok perempuan berseragam sama sepertinya mengulurkan tangan.

Napas Aluna masih memburu, bibirnya memucat. Meskipun sosok di hadapannya sekarang terlihat seperti manusia biasa tanpa bercak darah atau wajah menyeramkan, tetap saja keduanya berbeda.

"Aluna, buka woy!" Beberapa orang menggedor-gedor pintu, dan dalam sekejap mata perempuan itu menghilang.

Dengan cepat Aluna merapikan pakaian, bahkan mencoba membersihkan bercak darah di seragam sampai akhirnya seseorang masuk dan Aluna belum menyelesaikannya.

"Ih, Aluna! jorok banget sih lo! Gak pake pembalut, ya?!" cibir Sissy dengan tampang jijiknya.

"Bukan gitu, Si, tadi aku mimisan," jelas Aluna.

"Ish ... jorok! Nyesel gue datang panggil lo ke sini. Dicariin bu Renata, tuh. Katanya kamu kelamaan." Sissy berlalu pergi.

***

Aluna kembali ke kelas dengan bercak darah yang telah bersih. Namun, satu hal kini lagi-lagi mengejutkannya. Seorang murid laki-laki yang ia temui di pintu duduk di kursi kosong sebelahnya.

Aluna tidak tertarik dan tidak mempermasalahkan hal tersebut. Namun, tampaknya ada sesuatu di belakang laki-laki itu. Bukan hanya menyeramkan dengan rambut panjang dan baju putih kotor. Wajahnya membusuk dipenuhi darah, ada banyak belatung yang menghiasi beberapa bagian tubuhnya, juga ada sebatang besi yang menusuk mulutnya dan tembus ke bagian berikutnya. Baunya sangat tidak sedap hingga membuat Aluna kembali tidak nyaman di tempatnya.

Seketika Aluna mulai penasaran. Siapa laki-laki ini? Kenapa sosok itu bersamanya? Apa yang terjadi? Pasalnya ia kelihatan baik-baik saja, tapi tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya ia perbuat.

Sementara Aluna masih berkutat dengan pikirannya mengenai sosok menyeramkan itu, laki-laki di sampingnya malah mengoceh tidak jelas dan mengganggu konsentrasi Aluna.

"Bisa diam, nggak?!" tegur Aluna.

Laki-laki itu menampakkan nyengiran yang membuat Aluna seketika risih. "Punya pulpen, nggak?" katanya cukup pelan.

"Ini." Aluna menyodorkan sebuah pulpen bertinta hitam tepat di atas buku laki-laki itu. Ia kembali fokus memandang papan tulis, hingga tidak sadar jika seseorang di sampingnya tengah memperhatikan Aluna.

"Oke, gue Arga," katanya seraya menyodorkan tangan pada Aluna.

Aluna hanya melihat sekilas. "Aluna," balasnya tanpa menyentuh tangan Arga.

Arga menyunggingkan senyum. Tak ingin ditegur oleh bu Renata, ia segera memperbaiki posisi duduknya dan menghadap ke papan tulis. Namun, lagi-lagi nama Aluna mengitari otaknya.

Arga penasaran mengapa orang-orang menjauhinya. Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah Aluna sedikit aneh, atau karena dia cantik? Arga rasa, dari segi fisik Aluna tidak ada cacatnya.

The Truth Untold (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang