Dua Puluh Tiga

116 15 0
                                    

Sejak aku merusak nomor di depan ibu, Ken tidak menghubungiku. Baik secara langsung ataupun melalui ibu. Tapi sayangnya, dengan semakin tidak adanya komunikasiku dengan Ken, aku juga kehilangan komunikasi dengan cowok-cowok yang dekat denganku. Termasuk Bang Agil. Dua bulan kemudian, tepatnya pertengahan semester lima, aku hilang kontak dengannya. Dia menghilang entah kemana. Meninggalkan kuliahnya yang tinggal skripsi dan ketika dia kembali tiga bulan kemudian, dia dikabarkan akan menikah dengan teman SMA-nya.

"Lo nggak patah hati, Man?" tanya Tiara ketika kuceritakan Bang Agil akan menikah dengan teman SMA-nya.

"Menurut lo?" jawabku ketus.

"Patah hati pasti," Tiara menjawabnya sendiri.

Sedangkan Mita yang ada di depanku sedari tadi sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang sedang ia lakukan dengan ponsel pintar dengan casing gambar Doraemon tersebut.

"Mita punya gebetan baru ya?" tanya Tiara.

"Tanya aja sendiri," jawabku.

Mita yang mendengarnya, mengibas-ngibaskan tangan di depan muka. "Nanti gue ceritain."

Aku memeriksa jam yang melingkat di pergelangan tangan dan segera berdiri. "Gue ada ujian. Duluan ya!" ucapku dengan beranjak meninggalkan kantin kampus. Aku mengangkat tas berisi laptop dan bergerak keluar dari kantin.

"Gue ikut!" teriak Tiara. "Males ah di sini sama orang yang autis hape," katanya.

Aku menunggu Tiara di motor. Setelah dia naik di jok belakangku, aku memacu motor yang sekarang menemaniku kemana-mana menuju Fakultas Hukum tempat Tiara kuliah, baru setelah itu balik ke FKIP ke tempatku kuliah.

***

Aku baru saja keluar dari ruang ujian dan duduk di lorong yang ada di gedung tempatku kuliah. Aku mengeluarkan ponsel dan membuka beberapa media sosial yang kumiliki, sembari menunggu teman-teman yang lain keluar. Di saat aku sedang asyik stalking artis, seorang adik tingkat menghampiri.

"Kak Amanda ya?" tanyanya.

Aku menganggukan kepala.

"Ada yang nyari Kak Amanda," katanya.

Aku menunjuk ke diriku sendiri. "Gue?" tanyaku.

"Iya. Di samping gedung Kak."

Setelah adik tingkatku berlalu, aku segera berjalan menuju samping gedung yang dimaksud. Selama ini jarang banget ada yang mencariku, pertama karena aku nggak begitu terkenal di prodi dan jurusan, kedua karena pergaulanku di luar prodi juga sangat terbatas dan ketiga biasanya yang mencariku sudah menghubungi terlebih dahulu.

Aku berjalan mendekati gazebo yang ada di sana dan baru saja aku duduk di sana, aku melihat seseorang yang selama ini kuhindari berjalan ke arahku. Ken. Iya, orang yang sedang berjalan itu Ken.

Dia semakin mendekat dan berhenti tepat di hadapanku.

"Ada apa?" tanyaku judes.

"Maaf," katanya.

"Udah terlalu banyak kata maaf Ken," sahutku. "Dan ini bukan hari lebaran," tambahku.

"Gue tahu, Man," jawabnya. "Gue juga tahu gue nggak pantes buat dapetin maaf dari lo," tambahnya.

Aku membuat mukaku ke sembarang tempat. "Nggak juga sih," jawabku.

"Mungkin di masa lalu gue kayak mempermainkan elo, Man. Gue nggak pernah mikirin perasaan lo dan berbuat sesuka gue," ucapnya. "Tapi sekarang gue udah ngerti. Gue mau elo," lanjutnya.

Aku menautkan alis. Nggak ngerti dengan ucapan Ken.

"Gue bakal memperbaiki hidup gue dan ketika gue udah sukses dan layak buat elo, gue bakal datang buat nikahi lo," katanya yang membuatku langsung memandangnya dengan mata membelalak.

"Nggak usah repot-repot, Ken!" sahutku.

"Gue cinta sama lo. Dari dulu sampai sekarang, nggak pernah berubah," ungkapnya yang membuatku malah menelan ludah.

Aku mendengus dan kupandang Ken dengan malas.

"Masih ada lagi?" tanyaku.

Dia menggelengkan kepala. Lalu aku berjalan meninggalkan Ken yang aku sendiri tidak tahu sedang apa. Aku tidak peduli. Aku hanya berjalan dengan cepat supaya cepat hilang dari pandangan Ken. Saat itu umurku 21 tahun dan bagiku ketika ada cowok mengatakan akan menikahiku setelah sukses hanya semacam bualan yang tidak ada artinya.

***

Ken tidak menepati janjinya. Meski aku tidak pernah mempercayainya tapi dia memang benar-benar membual saat itu. Empat tahun sejak Ken menemuiku di kampus, dia tidak pernah menghubungiku ataupun menemuiku. Sejak aku masih mahasiswa sampai aku menjadi guru, dia tidak pernah menghubungiku. Jika memang aku mengharapkannya, aku bisa berpikiran bahwa mungkin dia belum sukses tapi sayangnya aku memang tidak pernah mengharapkannya. Aku bahkan tidak peduli dia kembali atau tidak.

Sampai suatu pagi di hari Minggu, aku mendapatkan kiriman via pos. Bersama ibu yang juga penasaran isi bungkusan tersebut, aku membukanya.

Sebuah undangan pernikahan dan kalender ada di dalamnya.

"Undangan pernikahan siapa, Man?" tanya ibu.

Aku membukanya. Di sana nama Bimo Cakra Pamungkas tertulis sebagai mempelai pria. Mas Bimo kakaknya Ken?

"Kayaknya kakaknya Ken, Bu."

Kini giliran kalender yang ada di samping undangan itu kubuka. Ketika aku mengangkatnya, dibandingkan disebut kalender, benda ini lebih tepat disebut buku. Aku tahu ini kalender karena di sampulnya tertulis dengan jelas 'calendar'.

Di halaman depan tertulis: perjalanan persahabatan Kenan dan Amanda. Lalu tertulis daftar isi yaitu mulai dari tahun 2013 sampai sekarang 2026. Kemudian di dalamnya tertulis tanggal pertama kami kenal dan semua kejadian yang pernah kami lalui bersama. Sampai pada tahun 2022 sampai 2025 Ken membubuhkan tanda bintang pada hari-hari tertentu.

Lalu pada halaman terakhir aku menemukan sepucuk surat. Isinya kira-kira seperti ini:

Man, aku mau kamu tetap jadi temanku. Datang ya di acara nikahan Mas Bimo.

Aku memandang ibu yang masih ada di sampingku. Menanyakan apa yang harus kulakukan.

"Datang aja. Meski nggak bisa kembali seperti dulu tapi kamu nggak bisa menolak berteman dengan siapapun," kata ibu.

Aku mendesah cukup panjang, sebelum akhirnya aku memeluk ibu. Aku akan kembali berteman dengan Ken, sama seperti dulu.

Hei Ken! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang