Dua Puluh Lima

150 14 1
                                    

Ken sudah menunggu di depan kelasku mengajar begitu aku keluar dari kelas. Dia menyambutku dengan senyumannya.

"Aku barusan memunguti kenangan," katanya.

Aku tersenyum. "Gue tiap hari."

"Harusnya kamu nggak pernah lupa sama aku," sahutnya.

Aku terdiam. Untuk lupa, mana mungkin aku lupa dengan Ken. Persahabatan kami, berantemnya kami sampai akhirnya kami tidak saling mengenal, sekolah ini menjadi saksinya. Tiba-tiba Ken meraih tanganku dan dia membawaku meninggalkan sekolah menuju motornya yang ia parkir di dekat pos satpam.

"Lo mau bawa gue kemana?" tanyaku.

Ken menyerahkan helm padaku. "Memunguti kenangan. Makanya aku bawa motor biar lebih kerasa kenangannya," jawabnya. "Kamu nggak apa-apa kan naik motor?" tanyanya.

Aku memakai helm. "Emang lo pikir selama ini gue naik apa? Naik kapal?"

"Kirain naik heli," katanya.

"Heli apaan?"

"Heli guk guk guk."

Aku mencupit lengannya sebelum akhirnya naik di jok motornya. Ken memakai helm dan memacu motornya meninggalkan SMA 18 tempat kami sekolah dulu yang kini jadi tempatku mengajar.

"Ternyata guru-guru masih inget sama aku, Man," kata Ken.

"Alhamdulillah guru-guru nggak amnesia."

"Aku serius."

"Aku juga Ken."

"Aku pikir setelah lulus lama guru-guru bakalan lupa sama aku."

"Guru akan selalu mengingat muridnya, Ken. Apalagi murid yang berkesan baginya," ucapku.

"Berarti aku berkesan dong," dia menyimpulkan.

"Itu kesimpulan lo."

Ken terus memacu motornya memasuki jalanan Kota Bandar Lampung yang tengah padat kendaraan. Aku menutup kaca helm agar polusi tidak begitu banyak kuhirup. Aku memandangi jalanan yang kini kami lewati.

"Kita mau kemana sih, Ken?" tanyanya.

"Kan aku bilang memunguti kenangan," jawabnya.

"Ini kan jalan pulang," kataku.

"Emang," sahutnya. "Pulang kan termasuk kenangan kita."

Aku melongo dibuatnya. Sumpah ini garing banget.

"Garing ya kejutannya?" tanyanya.

"Banget."

Ken tertawa. Sepertinya dia sangat puas dengan keberhasilannya membuat acara yang super garing ini. Ken membelokan motornya memasuki kawasan Kedaton dan memperlambat laju sepeda motornya. Terlebih saat memasuki kompleks perumahan dimana aku dan keluargaku tinggal, motor Ken seperti merayap.

"Lambat banget sih Ken," protesku.

"Biar bisa lebih lama sama kamu," jawabnya.

"Terus kalo lama sama gue kenapa?"

"Semakin banyak kenangan yang dipunguti."

Aku menarik napas cukup panjang. "Sebenernya tujuan lo apa sih?" tanyaku.

Ken terdiam. Cukup lama. Sampai aku mengulang pertanyaan tersebut.

"Tujuan apa maksud kamu?" dia malah balik bertanya.

"Ya tujuan lo ngajak gue memunguti kenangan," aku memperjelasnya dengan menekankan pada 'memunguti kenangan'.

"Ya ada, tapi aku belum bisa mengatakannya," jawabnya.

Hei Ken! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang