- Akademi -
Ko berjalan menelusuri mansion itu. Setelah pertarungan penentuan itu, Ko merasa sangat khawatir kepada Hinata kecil. Tadi siang, dia sempat melihat anak itu dihina walaupun tidak diperlihatkan secara terang-terangan. Melainkan, dengan cara bisik-membisik.
Di sana rupanya. Hinata kecil sedang duduk di samping bunga lavender yang ditemukannya tadi pagi. Dia tampak biasa-biasa saja, bahkan kini dia sedang bersenandung ria.
"Hinata–sama.." panggil Ko sambil menghampiri anak itu dan ber-ojigi.
Hinata kecil tersenyum. "Ah, Ko–niisan..."
"Boleh saya duduk?"
"Tentu saja boleh."
Sebenarnya, Ko sendiri merasa tidak enak mau menanyakan suatu hal pada Hinata kecil. Dia takut Hinata kecil merasa tersinggung lalu bersedih. Tapi, rasa penasarannya yang tinggi mengalahkan rasa tidak enak tersebut.
"Apakah... Hinata–sama tidak apa-apa?" tanya Ko pelan, dia sedikit ragu-ragu untuk menanyakan hal itu.
"Tidak apa-apa Niisan," sepertinya Hinata kecil tahu apa yang Ko maksud.
"Niisan tidak perlu khawatir.." lanjutnya sambil tersenyum manis.
"Wakatta.." Ko ikut tersenyum. Dia merasa sangat lega jika Hinata kecil tidak apa-apa, walaupun dia tahu sebenarnya jauh di lubuk hati Hinata kecil yang paling dalam terselip rasa kesedihan yang luar biasa.
*
Satu hari setelah pertarungan itu, Hinata kecil masih tetap ceria dan tersenyum. Matahari akan tidur sebentar lagi, tapi Hinata kecil masih terus berjalan menuju kamarnya. Langkahnya terhenti saat ia mendengar secara samar namanya disebut-sebut dalam sebuah pembicaraan antara dua orang. Ia berhenti tepat di depan pintu ruangan ayahnya, Hiashi.
Suara percakapan antara ayahnya dan seseorang yang terdengar sampai keluar. Dilihat dari suara lawan berbicara Hiashi, Hinata kecil meyakini kalau suara itu adalah suara seorang perempuan.
"Aku ingin menitipkan Hinata padamu." ujar Hiashi langsung pada intinya.
"Baiklah, saya terima. Itu adalah pilihan yang bagus agar Hinata tidak menjadi bunke, Hiashi–san.." orang yang berada dihadapan Hiashi itu tersenyum tipis.
"Itu bukanlah alasanku untuk menitipkannya."
"Lalu, apa alasannya?" orang itu sedikit melebarkan kedua matanya.
"Dia tidak pantas menjadi bunke. Bunke bahkan terdengar bagus untuk anak sepertinya, Kurenai–san." ucapan Hiashi terdengar datar seperti tanpa beban.
Ya, orang yang duduk berhadapan dengan Hiashi adalah seorang perempuan. Namanya adalah Yuhi Kurenai. Kurenai menyipitkan kedua matanya. "Hinata tetap menjadi anak Anda, tidak seharusnya Anda berkata seperti itu, Hiashi–san."
Kurenai beranjak dari tempat duduknya. "Terima kasih karena Anda sudah mempercayai saya untuk menitipkan Hinata. Tetapi jika Anda tidak mau merawatnya, biarkan saya yang akan melakukannya dengan senang hati."
Kurenai membalikkan tubuhnya kemudian berkata, "Ingat baik-baik perkataan saya Hiashi–san, Anda dan seluruh klan Hyuga pasti akan menyesal suatu hari nanti."
Hinata kecil yang mendengar semuanya hanya mampu menangis dalam diam. Ia masih berada di dekat pintu bahkan di saat Kurenai tidak sengaja melihatnya. Meski begitu ia segera berlalu pergi dari depan pintu ruangan Hiashi. Hinata kecil masuk ke dalam kamarnya dan duduk di tepi tempat tidurnya sambil meremas futon.
KAMU SEDANG MEMBACA
What If : Akatsuki adalah Hidupku
Fanfiction[BOOK I] [SasuHina] [Canon] Semua sudah digariskan kepadaku dan aku sudah ditetapkan seperti ini. Yang perlu ku lakukan hanyalah mengikuti alurnya. Aku tidak keberatan selama berada di dalam lingkaran yang penuh akan hitam putih, karena siapapun tah...