Semalam, istrinya itu tak mau makan. Seberapa keras pun Ando memaksa, Farras tetap enggan. Ando sampai marah atas sikapnya dan mengabaikan perempuan itu sepagi tadi saat akan berangkat ke kantor. Tapi Farras tetap bergeming. Lantas saat Ando akan masuk ke dalam mobil, ia bagai terkena serangan jantung mendengar kata-kata Farras.
"Kalau Abi gak mau poligami, cerai kan Ras saja. Abi cari saja perempuan lain yang bisa memberikan anak untuk Abi."
Ando tentu langsung marah mendengarnya. Ia tak perduli ketika suaranya menggelegar, berteriak memanggil nama Farras. Tapi apa balasan Farras? Perempuan itu dengan santainya balik badan dan menatap Ando tanpa takut sama sekali. Farras benar-benar kehilangan kendali.
"Apa? Talak saja. Ras menunggu untuk itu," tantangnya. Dan itu membuat Ando benar-benar kesakitan. Ando tak melanjutkan ucapannya karena ia takut khilaf dan benar-benar menceraikan Farras. Maka itu Ando malah masuk ke mobil dengan membanting pintu lalu pergi begitu saja. Ia sudah benar-benar tidak mengenal istrinya itu sejak kemarin. Ia benar-benar kehilangan Farras. Dan ia takut kehilangan kesabarannya menghadapi perempuan itu. Ia tak mau hanya karena emosi sesaat, semuanya berakhir sia-sia.
Mungkin perempuan-perempuan yang tidak berada diposisi Farras tak akan pernah mengerti perasaannya. Mungkin memberinya cap bodoh atau apapun ia tak masalah karena mereka tidak merasakan bagaimana pilunya diposisinya. Menjadi perempuan yang sekian tahun menikah dan belum mempunyai anak itu sangat sakit rasanya. Hatinya bahkan terasa sangat sempit kini hingga begitu mudah emosi. Sekali disiram bensin, ia akan bisa membakar segalanya. Dan Farras benar-benar tak bisa mengendalikan itu. Ada rasa marah pada diri sendiri. Ada rasa pilu pada diri sendiri. Ada rasa iri pada orang lain. Ya kan?
Ketika hati sedang terasa sempit begini, ia harus bagaimana? Ketika iman terasa kering dan goyang. Ketika solat pun tak lagi khusyuk. Ketika mengaji pun terasa malas. Ketika nasihat dan kata-kata bijak pun hanya sekedar melewati telinganya dan tak menetap di kepala dan hatinya. Ia harus bagaimana lagi? Ada kah yang diposisinya? Diposisi iman yang sedang sangat-sangat turun dan ia merasa buntu akan semua masalah ini.
Dan Ando hanya menghabiskan waktu setengah hari di kantor. Ia pamit pada daddy-nya. Kemudian melajukan mobilnya ke sebuah pesantren di Tangerang. Ia mengenal pemilik pesantren dan beberapa ustad di sana. Jadi lah ia meneduhkan batinnya di sana sembari ikut kajian yang sedang berlangsung. Setelah selesai, si ustad yang tadi mengisi kajian mengajaknya mengobrol ke ruangannya. Biasa, obrolannya tak jauh dari jadwal kajian yang harus diisi Ando sebulan mendatang. Ando mengangguk saja. Ia sengaja menerima tawaran itu setelah lama menolaknya. Ia menolak karena memikirkan tidak cukup waktu untuk di rumah tapi dengan kondisi ini, akhirnya ia malah mengambil tawaran ini. Ia hanya mengisi kajian motivasi sebagai pengusaha kepada santri dan santriwati di sini. Tidak lebih. Toh ia bukan ustad apalagi kyai. Ia hanya seorang Ando, lelaki biasa dengan ilmu bisnis yang tak seberapa tapi harapnya, bisa bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya.
"Oh ya, Ndo," tutur si ustad yang baru teringat sesuatu. Ia mengeluarkan berlembar-lembar amplop dari lacinya. Kening Ando mengerut ketika amplop-amplop itu berada ditangannya. "Sebulan lalu saat kamu mengisi kajian di sini, banyak akhwat yang menitipkan ini pada istriku."
Ando terpaku. Sejujurnya, ia sudah sering menerima ini sekalipun ia sudah menikah. Surat-surat itu masih banyak berdatangan. Kenapa? Karena banyak yang tak tahu statusnya. Melihat wajah tampan Ando, terlihat soleh dan masih muda tentu menarik perempuan bukan? Perempuan mana yang tak tertarik dengan ketampanan yang dimiliki Ando? Lalu sikapnya yang terlihat sangat gentle itu begitu memukau hati perempuan mana pun. Di komplek perumahannya saja banyak yang naksir dan mengaguminya kan? Apalagi santriwati di sini! Bah!
Awal-awal menikah, Farras mengomel begitu tahu Ando masih mendapat surat-surat semacam ini. Jadi akhirnya, Ando selalu membuang surat-surat itu. Kecuali kalau ia sedang ingin menjahili istrinya dengan surat-surat itu. Kalau sekarang ia datang membawa ini ke rumah, ia yakin Farras dengan senang hati menyuruhnya memilih satu dari perempuan-perempuan ini untuk menjadi istri. Ia yakin akan begitu karena Farras sepertinya sengaja mengungkit emosinya. Tapi ia tak bisa melakukan itu. Bagaimana mungkin ia menceraikan Farras? Hatinya terpaut pada perempuan itu. Dan bagaimana mungkin ia rela melepas Farras untuk lelaki lain? Membayangkannya saja bisa membuatnya kesetanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Di Atas Cinta 2
SpiritualMenikah itu bukan akhir dari tujuan hidup. Nyatanya, ini adalah sebuah awal yang baru untuk memulai hidup berdua dengannya yang dicinta. Keduanya menikah diusia yang teramat muda. Namun setelah lima tahun pernikahan, apa yang didamba-dambakan setiap...