Sebuah Coklat

2.9K 474 396
                                    

Gegara baca komenan, tergelitik untuk update wkwkwkwkw nantikan lagi malam yaaa wkwkwkw biar cepet kelar wkwkwk

🤣🤣🤣


Farras menelungkupkan wajah di atas meja. Ia pusing sekali. Sudah tak konsentrasi pula mengerjakan tesisnya. Bab pembahasannya pun kacau balau. Lalu ditambah pula dengan banyaknya revisi dari dosen pembimbingnya tadi benar-benar membuatnya pusing kepala. Ia tidak separah ini saat mengerjakan skripsinya dulu. Oke, mungkin saat itu memang suasana hatinya dan beban masalah tak seperti ini bukan? Mana ditambah pula dengan kondisi rumah tangga yang menurutnya retak. Ando masih seperti kemarin-kemarin. Selalu berangkat pagi-pagi dan mengabaikan sarapan buatannya. Kemudian pulang malam hingga makan malam yang susah payah ia masak pun harus kembali ia masukan ke dalam kulkas. Esoknya? Ia yang harus menghabiskan sendiri makanan itu meski dengan kondisi yang sangat-sangat tak berselera makan. Ia juga sering pusing dan kadang mual. Farras tahu jika tubuhnya akan tumbang juga jika ia seperti ini. Bukannya ia tak perduli. Hanya saja masalah ini sangat menyita beban pikirannya hingga ia tak sempat memikirkan kondisi tubuhnya. Lalu untuk program bayi tabung itu? Hahaha.

Omong kosong. Wong tak ada lagi komunikasi dalam rumah tangga mereka. Farras merasa, mereka bagai dua orang asing yang terperangkap hidup bersama. Ando tampak menghindar meski ia sendiri tak bersikap seperti itu. Namun melihat aksi Ando seperti itu, Farras tergelitik untuk membalasnya. Tidak heran jika akhirnya ia mendekam di perpustakaan sampai sore. Berupaya menelaah beragam jurnal guna mendukung pembahasan penelitiannya. Ia memang tak berkuliah jauh. Setelah menyelesaikan sarjana di UIN Jakarta, ia malah mengambil master di Universitas Indonesia. Kampusnya pun di Depok bukan Salemba jadi amat dekat dengan rumah. Biasanya, ia hanya memesan taksi online tiap pergi dan pulang dari kampus. Namun hari ini?

Usai solat magrib yang disambut isya, ia berjalan gamang menuju halte fakultas. Ia duduk di sana cukup lama lalu naik bikun (bis kuning) dan berdiri berdesak-desakan di dalamnya. Kemudian turun di halte Stasiun Pondok Cina dan berjalan kaki hingga memasuki area stasiun. Ia hampir tak pernah naik kereta lagi jadi tak tahu kalau akan seramai ini menuju Stasiun Depok. Tiba di sana? Ia malah jajan sebentar, membeli buah kemudian menaiki angkutan umum hingga tiba di depan gerbang kompleks rumahnya. Saat melihat Farras turun dari angkutan umum, Farrel menghentikan mobil. Abangnya itu baru pulang. Ia hanya tersenyum tipis saat Abangnya menawari tumpangan. Tentu saja ia bersedia masuk.

"Gimana persiapan menikahnya, Bang?"

Yeah, setelah melewati badai gegara viral berita dengan Shabrina, kini Farrel sudah memasuki ke tahapan persiapan pernikahan usai lamarannya diterima. Mendengar pertanyaan itu, Farrel hanya tersenyum tipis. Sejujurnya, tidak selancar yang dipikirkan Farras. Meski lamarannya sudah diterima, kenyataan bahwa perempuan itu terus menerornya demi membatalkan lamaran membuatnya sedih. Namun ia menyimpannya sendiri. Biar lah. Ia hanya bisa berdoa semoga Allah membalikkan hati perempuan itu agar nanti bisa menerimanya. Tidak sekarang tapi saat keduanya menikah nanti. Bukan kah lebih indah kalau mencintai setelah menikah?

"Kamu dari mana?"

Ia malah mengalihkan pertanyaan. Farrel agak heran karena Farras baru pulang jam segini dengan angkutan umum pula. Biasanya pasti dijemput Ando. Sementara Farrel tadi pagi memang sempat bertemu Ando tapi hanya sebentar lalu siangnya ia ke kampus UI Salemba karena ada urusan dengan salah satu professor di sana.

"Kampus."

"Ando gak jemput?"

Farras berusaha bersikap biasa saja. Ia bahkan tak membuka ponselnya sama sekali sejak dimarahi dosen pembimbingnya siang tadi. Sementara Farrel menoleh pada Farras yang nampak bengong.

Cinta Di Atas Cinta 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang