Tujuh

480 27 2
                                    

Seorang gadis sedang duduk termenung disalah satu tempat duduk yang ada di taman ini. Gadis ini memilih ke taman setelah kejadian di rumahnya tadi.

Gadis tersebut adalah Amaliya, gadis ini masih merenungkan kejadian demi kejadian yang tadi dirinya alami di rumah.

Renungan yang dirinya lakukan mungkin sedikit mengobati rasa sakit nan lelahnya. Rasa sakit nan lelah yang 19 tahun ini dirinya pikul sendirian begitu membuatnya terpuruk. Sekarang ini masalah perkuliahan dan pekerjaan Amaliya lupakan sejenak, karena Amaliya ingin menenangkan hati dan pikirannya terlebih dahulu di taman ini, sampai sampai setetes kristal bening mengalir apik di pipi mulus Amaliya.

Ketika Amaliya sedang merenung, kedua netranya tak sengaja menangkap interaksi ibu dan anak yang sedang mencurahkan kasih sayangnya satu sama lain. Amaliya yang melihatnya menjadi iri dan ingin menempati posisi anak itu. Tak terasa setetes demi setetes kristal bening itu mulai turun dari kedua kelopak matanya.

Tampak disana, sang anak sedang bersandar di pundak ibunya dan ibunya mengelus rambutnya dengan sayang. Sungguh adegan tersebut membuat hati Amaliya berdesir sakit, dirinya juga ingin merasakannya juga.

Setelah cukup dengan renungannya di taman, Amaliya beranjak dari tempat duduknya dan mulai berjalan dengan sedikit gontai pergi meninggalkan taman tersebut.

Di pinggir jalan, Amaliya berjalan seorang diri dengan langkahnya yang sedikit gontai, gadis tersebut duduk sendirian di trotoar jalan ditengah ramainya kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya ini.

"Hidupku sudah hancur bagai kepingan kepingan kaca yang pecah, bagaimana caranya aku melanjutkan hidup? Kenapa takdir begitu mempermainkanku, kenapa ini terjadi padaku, kenapa?" lirih Amaliya.

"Terlahir tanpa seorang ayah adalah hal yang menyakitkan, kelahiranku saja bahkan tak dianggap oleh semua pihak termasuk mamaku, lalu apa gunanya aku hidup di dunia ini?" racau Amaliya dengan mengacak acak rambutnya persis seperti orang yang sedang frustasi.

Kedua netra Amaliya mulai celingak celinguk ke kanan dan ke kiri, dan pada saat dirinya menoleh ke kanan, dirinya melihat seorang anak kecil laki laki sedang berkeliling jalan menjualkan koran yang ia bawa.

Dan tiba tiba saja anak laki laki itu berdiri dihadapan Amaliya untuk menawarkan koran dan kegiatan itu sontak berhasil membuyarkan lamunan Amaliya.

"Kak, mau beli koran tidak?" tanya anak laki laki itu.

"H-hah?" bingung Amaliya, pasalnya gadis itu tadi sedang melamun.

"Kakak mau beli koran tidak?" ulang anak laki laki itu.

"Berapa harganya dek?" tanya Amaliya.

"Satu koran 5.000 rupiah kak," jawab anak kecil laki laki itu.

"Oke, kakak beli satu ya, ini uangnya," ucap Amaliya seraya menyodorkan selembar uang berwarna cokelat ke arah anak kecil itu.

Anak kecil tadi menganggukkan kepalanya dan mengambil satu koran lalu disodorkannya koran tersebut ke arah Amaliya. Amaliya menerimanya dan anak kecil tadi menerima uang yang Amaliya beri tadi.

Lalu, anak kecil tadi berlalu dari hadapan Amaliya dan bersemangat untuk menjualkan koran-koran yang ia bawa.

Amaliya yang melihat kegigihan dan semangat anak kecil itu pun menjadi salut. Anak kecil itu saja bisa semangat, kenapa dirinya tidak bisa?

"Amaliya, kamu harus semangat," semangat Amaliya menyemangati dirinya sendiri. Sedetik setelahnya, Amaliya pun mencoba tersenyum manis dan mulai melangkahkan kakinya menuju rumahnya.

***
Kini, Amaliya sudah berada di depan sebuah rumah minimalis yang menjadi saksi perlakuan mamanya selama 19 tahun ini.

19 tahun rasa sakit hati, menyerah, lelah, marah, semua berlebur menjadi satu. Namun apalah daya, yang bisa Amaliya lakukan hanyalah diam dan menangis meratapi nasib yang kini ada pada dirinya.

My Destiny [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang