"Thanks Ki, gue balik dulu yah"
"Yok.. hati-hati dijalan"
Gita tersenyum dan berdadah ria dengan Rifki yang sudah memutar motornya untuk kembali ke desa, matanya mengikuti punggung Rifki sampai akhirnya hilang di pembelokan.
Ok, saatnya menghadapi keganasan anak kanjeng mami yang kemungkinan mengamuk. Fighting Gita!
Gita menggigit bibir bawahnya setelah menyemangati diri sendiri. Di sana, Pandu sudah berdiri dengan bersandar pada badan mobil lengkap dengan kacamata hitam bertengger di hidungnya. Dalam hati Gita merasa kalau dosen sekaligus mantan yang udah balikan alias sudah kembali menyandang status sebagai pacarnya ini lebih cocok menjadi model. Lihat gayanya? Songong lah pokoknya.
Cocok jadi model, model kalender, kalendernya taro di warung, warungnya kebakaran. Hahaha-astagfirullah. Dosa Gi!
"Kita jalan sekarang Pak? Atau bapak mau istirahat dulu? Baru nyampe kan"
Pandu menggeleng kemudian bergerak ke pintu samping mempersilahkan Gita masuk kedalam mobil.
Sepuluh jam ke depan dirinya akan bersama Papan yang sepertinya sedang mode silent. Seandainya Papan ini smartphone mungkin Gita sudah merubahnya menjadi mode getar. Rasanya mode getar lebih baik saat ini.
Perihal rokok, oke. Gita mengaku salah. Seharusnya dia tidak merasa ngiler saat melihat teman cowoknya dengan santuy menghisap batang beracun itu. Tapi sayang, pernah dengar hal yang menjerumuskan itulah yang hal yang nikmat? Nah itu dia rokok. Sudah sejak lama dia tidak merokok lagi, mungkin sejak dia kedapatan merokok sama Papan di pesta nikahan Dion? Yah sepertinya saat itu dia sudah berhenti.
Sayangnya imannya tidak begitu kuat saat ngobrol bersama teman laki-lakinya yang kurang ajar ngomong sambil ngerokok yang akhirnya asap itu dengan santuy-nya masuk ke hidung dan mengaktifkan saraf-sarafnya yang sudah lama tertidur pulas.
Dan kemudian silahkan mengucapkan terimakasih pada Dimas yang menanyakan batangan beracun itu disaat yang tidak tepat.
Dan akhirnya telinganya harus panas mendengar kultum dari Pak Pandu. Bukan Kultum si kuliah tujuh menit, tapi kultum si kuliah tujuh puluh menit. Apa aja yang dikorbankan? Banyak, mulai dari hati, perasaan, telinga, otak, dan kuota. Saat itu yang hanya bisa Gita gumamkan dalam hati adalah
Anda gak santuy pak
"Bapak masih marah sama saya? Saya kan sudah minta maaf"
Gita melirik takut-takut kearah Pandu yang masih fokus menyetir.
"Berapa batang kamu habiskan?"
Gita menipiskan bibirnya kemudian menjawab. "Satu batang kok Pak"
Satu batang setelah lima batang yang lainnya pak, maksud gue gitu
Gita pikir setelah menjawab tadi dia akan diberi kultum lagi. Kan lumayan untuk menghabiskan waktu sepuluh jam lebih untuk sampai ke rumahnya. Nyatanya tidak, Papan hanya diam saja. Selama perjalanan mereka hanya beberapa kali singgah untuk mengisi perut dan shalat.
Dan suer, Gita baru tau kalau Papan shalat juga. Dia kira Papan hanya Islam KTP seperti dirinya.
Istigi, cilin siwimi idimin piri winiti!
Sepanjang sisa perjalan tadi Gita berusaha menahan senyumannya saat mengingat bagaimana gantengnya seorang Panduwinata sehabis wudhu. Bukan lebay, tapi Gita akui cowok gantengnya nambah setelah wudhu itu juga berlaku pada Papan.
Dirinya serasa dibimbing secara tersirat sama Papan karena sumpah, baru kali ini dia singgah untuk shalat di masjid kalau lagi dalam perjalanan.
Kok ada rasa adem gitu yah. Ini Papan udah hijrah tanpa sepengetahuan gue atau cuman lagi modusin gue yak. Tapi masa dia shalat cuman buat modusin gue supaya gue tambah terpesona sama dia. Aduh gimana sih ini, gue kepedean banget ini!
KAMU SEDANG MEMBACA
Loves Dawet Book 2 [COMPLETED]
Teen FictionGita memutuskan pindah ke rumah Papi-nya saat merasa tidak lagi sepemikiran dengan Mami dan juga Suami Maminya.