10 tahun kemudian..
"Sica, aku cantik bukan?" Jesicca terkekeh sambil mengiyakan pertanyaanku. Ku kibaskan rambutku yang panjang dan membiarkan Jessica memasang anting gemerlap di telingaku. "Suasana nona begitu cerah hari ini," ujar Jessica tak henti-hentinya menatap kagum wajahku yang terpantul di cermin.
"Sudah lama aku tak piknik dengan ayah. Selama ini aku sibuk latihan menembak, dan tiba-tiba ayah mengajakku jalan-jalan berdua jadi aku tak bisa menyiakan kesempatan bagus ini."
"Anda tampil sangat cantik hanya untuk ayah anda? Nona memang putri yang sangat baik."
Aku tertawa malu. Pipiku memerah membayangkan apa yang akan kulakukan bersama ayah selama seharian ini. Segera kuambil tas dan berpamitan pada Jessica. Baru saja satu langkah kuambil keluar dari pintu, ayah sudah berdiri dihadapanku. Menjejalkan tangan di saku dengan eskpresi datarnya.
"Sudah selesai?
Aku terpaku. Wajah tampan ayah memang sudah biasa aku lihat tapi tetap saja tidak pernah terkontrol disetiap waktu. Kedua matanya menatap diriku lekat-lekat. Ayahku benar-benar tidak berubah. Bahkan setelah 10 tahun berlalu, ayah masih saja membuatku tersipu.
"Ada apa?
Aku menggeleng kuat "Ayah tampan sekali. Tampak menyilaukan."
"Kau berlebihan." Ayah mengangkat telapak tangannya. Aku meraihnya dan menggenggam erat tangan ayahku yang berotot.
"Kau tumbuh begitu cepat," Ayah berkata. Sedikit merasakan jemari tangaku yang ia genggam erat. "Dulu, tanganmu seperti kaki piyik. Terlalu kecil sampai aku takut bakal remuk kalau ku pegang."
Sedikit rasa sebal kurasakan. Tapi ku ukir senyuman lebar. "Sekarang ayah tidak perlu khawatir lagi, putri ayah ini kan kuat. Tangan Yeris tidak akan remuk hanya karena ayah pegang."
Sampai di halaman, ayah menuntunku masuk ke dalam mobil. Kali ini hanya aku dan ayah saja tanpa ditemani Oxe ataupun yang lain. Sebelumnya aku belum pernah melihat ayah menyetir. Entah kenapa sekarang aku kembali tersipu hanya karena ayah memegang kemudi.
Sejauh ini aku belum keluar selain ke rumah Marko dan halaman Mansion,jadi saat ayah mengajakku pergi, aku begitu bersemangat meski bukan pergi keluar kota. "Kau ingin kemana?" Ayah bertanya. Aku menoleh cepat. "Zoo" jawabku antusias.
"Terlalu ramai."
"Taman?"
"Ramai."
"Pasar?"
"Sangat ramai."
Aku mengerucutkan bibir. "Lalu kemana? Apa ayah punya rekomendasi tempat yang bagus?"
"Tidak," Ayah menjeda kalimatnya. "Ayah anak rumahan."
Aku memandang jalanan frustasi, "kalau begitu ayah ingin ke tempat seperti apa?" Ku lirik ayah yang tampak berpikir. "Tempat yang sepi, tidak berisik, tidak ramai, bisa rebahan dan tiduran."