24. Perjanjian Kotor

29K 3.4K 1.4K
                                    

Nulis cerita ini struggle sekali, dari eror, gak ke post. Hilang. Lalu kehapus di draft. Akhirnya nunggu muncul tapi mustahil. Kemudian berakhir tulis ulang buru-buru. Huhu. Semoga kalian menikmati! Bacanya pas lagi gak puasa ya. Aku memutuskan tetap up pas puasa karena tergantung interpretasi kalian masing-masing dan kalian tahu baca pas kapan bagusnya. Lagian yang gak terus-terusan mature gitu kan hehe. Kalau aku bisa nulis kapan aja karena memang tidak puasa. Semoga menikmati!

Jangan lupa tinggalkan komentar karena ini Hyungri yang kalian inginkan hihi. Btw Jiminnnya munculnya nanti di part berikutnya.

Kim Taeri harus segera sampai di rumah untuk menyiapkan segala kebutuhan di mana dia akan mempresentasikan rencananya pada Ok Namjoon. Menjadi agen ganda dengan mendukung dan juga menjatuhkan secara bersamaan.

Menyembut kata 'rumah' menjadi cukup asing untuknya. Membuatnya pikirannya seperti dipaksa untuk memikirkan sesuatu yang harusnya tidak menjadi sarapan utama otaknya saat ini. Masih banyak yang harus dipikirkan, tetapi malah berakhir dengan memikirkan hal tersebut sambil bersender di jendela mobil, menatap keluar. Deretan bangunan yang biasa disebut rumah dilewati satu-persatu. Ada seorang ayah yang sedang bermain dengan anaknya, sementara sang istri menatap dari teras rumah sambil menggendung anaknya yang belum dapat berjalan, adapula sepasang suami-istri yang menua bersama, menikmati semilir angin, atau mereka yang harus seorang dia menghabiskan sisa hidupnya.

Di bagian lain, ada bangunan bertingkat dengan tembok berwarna abu-abu menjadi pelindung mereka. Biasanya di isi dengan beberapa orang yang menetap pada masing-masing kamar. Sebuah flat yang menyajikan banyak cerita, dari kehanganan kue jahe yang dibuat bersama, pasangan muda yang menetapkan untuk hidup bersama sekalipun tanpa ikatan pernikahan, atau mungkin teriakan menggelegar dari suami istri yang saling memaki penuh amarah. Biasanya ada lebam yang akan terlihat pada salah-satu mereka yang berusaha ditutupi mati-matian ketika berjalan keluar. Berharap bahwa keberadaannya tidak disadari sebab kebanyakan orang-orang lebih memilih untuk membicarakan di belakang entah itu sebuah empati atau hanya untuk bahan pergunjingan.

Kebanyakan dari mereka enggan dijadikan kepuasaan empati orang lain atau dijadikan saran untuk memperkuat hidup. Merasa lebih beruntung daripada dirinya yang jelas menyedihkan. Mensyukuri hidup mereka karena tidak sepertinya. Menyedihkan bagaimana kehidupan sosial bekerja. Taeri menyadari hal semacam itu dan berusaha keras agar dirinya tidak terjebak dalam stigma seperti itu.

Taeri memalingkan wajahnya pada jalanan dan menghela napas sangat lelah, bukan hanya perkara tenaga, tetapi bagaimana keadaan psikisnya. Kadang ada sekelebat datang, bertanya-tanya sampai mana kaki akan membawanya melangkah ke banyak tempat di mana dia akan selalu mendapatkan tantangan baru, pekerjaan baru, ancaman baru, bahaya baru, dan kepuasaan baru. Ada sesuatu yang kosong dalam dirinya setiap menyebut kata rumah.

Seperti apa rumah sebenarnya? Jelas rumah yang sekarang dia katakan, tidak sebenar-benarnya rumah, hanya tempatnya menetap untuk sementara—menumpang. Sebuah apartemen milik seseorang yang berhubungan dengan misinya.

Bahkan tempat tinggalnya sendiri, selalu berpindah-pindah. Tidak pernah menetap di satu tempat dalam waktu lama. Berbahaya untuk dirinya. Atau mungkin panti asuhan tempatnya dulu tumbuh adalah rumahnya? Di mana dia sempat dibesarkan penuh cinta sebelum akhirnya tidak punya pilihan selain pergi dari sana. Tidak juga. Bahkan untuk kembali menjadi Taeri kecil dan menyapa beberapa orang yang ada di sana saja sudah cukup sulit. Kim Taeri sadar bahwa dia berbeda dengan yang dulu. Kedua tangannya sudah banyak berlumur dengan kepahitan dan permainan dunia.

Dia punya satu tempat di sebuah desa yang jumlah penduduknya bahkan masih bisa dihitung. Cukup terpencil, hanya untuk meletakan barang-barang. Bahkan rumahnya sama sekali tidak besar. Keberadaannya juga tidak jelas. Taeri tahu bahwa di sana banyak tersebar desas-desus bahwa rumahnya adalah rumah hantu sebab tidak pernah ditinggali dan beberapa kali terdengar seperti ada orang yang berada di dalam sana, dan ya, itu dirinya sendiri. Itu juga bukan rumah untuknya. Taeri tidak pernah menemukan kenyamanan di sana kecuali kesepian, kesendirian dan sisa-sisa memori menyedihkan yang berusaha dia lupakan atau dia harap untuk gali lebih dalam.

MALACHAI ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang