Semilir angin menerpa wajah seorang pemuda yang tengah berdiri sambil memegang pembatas rooftop, membawa setiap helai surai-nya menari-nari mengikuti kemana angin pergi. Setiap detik angin menabrak-nya sangat dia nikmati, se akan-akan tiada hari esok yang seperti sekarang ini. Deru nafas teratur cukup menggambarkan bagaimana efek kenyamanan yang dia rasakan.
Hingga sebuah suara membuat fokus-nya teralih, menatap tiga orang gadis yang tengah mendorong seorang gadis berambut sebahu yang tampak tidak berani melawan. Pemuda tersebut menghela nafas, bukan hal baru melihat adegan tersebut. Terkadang dia berpikir jikalau dunia dan isi-nya terlalu naif, terlalu mementingkan hukum alam di mana yang lemah dia-lah yang kalah. Jadi jikalau bumi di dominasi oleh kaum lemah apa hukum alam tetap akan berlaku? Terlalu rumit untuk sekedar membayangkan-nya.
"Aku sudah bilang untuk mengerjakan tugasku!! Rupa-nya kau mulai berani melawan"
"Mm..maaf-kan aku Juri, aku tidak sempat mengerjakan-nya karena Ibu Suyun tiba-tiba memanggilku"
"Kau banyak alasan!!"
Plakk
Masih tetap di sana, pemuda tersebut hanya memantau semua-nya masih di tempat yang sama, tidak ingin ikut campur karena melihat-nya dari atas sudah repot duluan. Dia hanya memantau, bagaimana gadis bersurai panjang yang sempat ia dengar bernama Juri tersebut membentak serta menampar gadis di depan-nya yang sekarang hanya bisa menunduk sambil memegang pipi-nya.
"Kau tidak tau karena diri-mu lagi-lagi aku harus berurusan dengan ayah-ku. Dasar sial!!"
Dia terkekeh melihat adegan tersebut. Dasar perempuan, jika bukan menampar pasti ending-nya tidak jauh-jauh dari menjambak. Dia tidak bisa membayang-kan jika sehari-nya gadis itu terus di jambak mungkin akan berakhir botak.
"Apa aku perlu menghubungi Rumah sakit jiwa?" Pemuda itu tersentak dan langsung berbalik menatap seorang lagi pemuda yang kini menatap-nya polos.
"Untuk apa?"
"Ayolah Jei, aku tidak cukup bodoh untuk melihat-mu terkekeh tanpa sebab--atau mungkin kau kesurupan hantu rooftop. Oh Tuhan, kembalikan Jeizen-ku" Pemuda bernama Jeizen tersebut menatap pemuda yang satu-nya dengan tatapan datar, menurut-nya teman-nya ini sangat dramatis. Apakah pikiran-nya sedangkal itu? Hingga orang terkekeh saja sudah di simpulkan kesurupan. Salah apa yang dia perbuat ketika masih berbentuk sperma hingga bisa mendapat-kan sahabat se-tidakwaras ini.
"Lihatlah ke bawah, otak-mu ada di sana" Setelah mengatakan hal tersebut Jeizen meninggal-kan sahabat-nya yang tampak menahan kesal.
•••
Jeizen berjalan santai dengan satu tangan yang berdiam tenang di dalam saku celana-nya. Banyak pasang mata yang terang-terangan menatap kagum pada-nya sudah menjadi makanan-nya setiap hari. Namun tidak bisa di sangkal jika sebenar-nya dia benar-benar risih tapi rasa tidak ingin repot lebih mendominasi hingga membuat-nya hanya bisa diam.
Tak lama kemudian Jeizen merasakan lengan seseorang bertengger di pundak-nya yang tidak perlu di lirik Jeizen sudah tahu siapa orang-nya. Siapa lagi jika bukan sahabat menyebalkan-nya, Jason.
"Kau meninggalkan ku man"
"Apa peduli-ku?"
"Setidak-nya aku sahabat-mu Jei"
"Tidak juga" Jason mendengus, Jeizen selalu bisa membuat emosi-nya berada di ubun-ubun. Mulut terlalu lemas tipe Jeizen sungguh harus cepat-cepat di hindari jika tidak ingin mendapat dampak-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lily [Hiatus]
Teen FictionTembok yang ku bangun sekokoh mungkin, runtuh hanya dalam sekejap mata. Bukan tentang kisah remaja bucin. Hanya tentang Lily, gadis manis yang berusaha mencari kebagiaan-nya sendiri. Dan tentang Jeizen yang mencoba masuk, meyakinkan jika kebahagiaan...