Empat

74 18 5
                                    

Lukisan langit malam selalu menjadi candu untuk Jeizen. Langit malam yang di lengkapi oleh pernak-pernik sebagai pemanis-nya selalu membawa Jeizen di satu sisi ketenangan. Dia selalu berpikir apakah jika berada di luar angkasa sana akan lebih indah atau malah menyeram-kan. Di saat orang-orang kompak ingin menjadi Bintang karena objek tersebut berbentuk unik serta indah namun Jeizen ingin menjadi bulan, bulan yang menyinari semesta dengan cahaya-nya. Dan Jeizen menyukai bulan karena seolah-olah benda langit tersebut menggambar-kan tentang diri-nya. Bulan yang hanya sendiri di antara ribuan bintang sangat kontras dengan kepribadian-nya.

"Wow, seperti-nya ada yang sedang patah hati" Tanpa berbalik Jeizen sudah tahu siapa orang yang baru saja masuk ke dalam kamar-nya. Diri-nya berbalik dan langsung menatap gadis yang lebih tua dari-nya itu dengan tatapan datar.

"Tidak punya sopan santun, masuk ke kamar orang itu ketuk pintu dulu" Ucap Jeizen kesal.

"Jika terbuka tanpa di ketuk, kenapa harus repot? Hanya membuat sesuatu yang gampang menjadi sulit" Ucap-nya membuat Jeizen mendengus kesal di tempat.

"Mesum. Jika aku sementara bertelanjang tadi-nya bagaimana?"

"Tidak apa,lagi pula aku sudah melihat semua-nya" Bisik gadis tersebut tepat di depan telinga Jeizen membuat pemuda itu langsung mendorong kepala-nya agar menjauh dan benar saja, gadis itu langsung limbung namun tidak sampai terjatuh.

"Sinting" Ucap Jeizen lalu beranjak keluar dari kamar-nya meninggal-kan sang gadis yang terus melanyang-kan protes di belakang-nya.

"Hei!! Aku ini kakak-mu bersikap-lah sopan!!" Jeizen tidak mengindah-kan protes gadis yang sebenar-nya berstatus kakak-nya itu.

"Kubilang berhenti Jei!!" Mendengar itu Jeizen mendengus, berhenti melangkah lalu menatap kakak-nya tersebut dengan pandangan malas.

"Kau saja tidak sopan pada-ku apakah aku harus sopan pada-mu. Tidak perlu susah-susah berpikir, karena jawaban-nya adalah mustahil"

Renata, kakak Jeizen tersebut menatap adik-nya sengit. "KAU!!"

"Apa yang kau harap-kan? Kau tidak lain hanya-lah seorang iblis yang menjelma menjadi seorang kakak untuk-ku" Setelah berkata seperti itu Jeizen berlalu sambil terkekeh. Pasti sebentar lagi kakak-nya itu akan merajuk pada-nya, urusan membujuk itu nanti belakangan yang penting sekarang Jeizen tidak ingin di ganggu.

"Kenapa lagi Jei?" Jeizen menoleh menatap sang bunda yang tengah menatap-nya sambil memegang sebuah majalah.

"Tidak ada, hanya sedikit menjahili kakak" Bunda Jeizen hanya mengangguk mendengar tuturan putra-nya lalu kembali mengalih-kan tatapan-nya pada majalah. Melihat itu Jeizen kembali melangkah meninggal-kan ruang santai menuju ke depan rumah hanya sekedar menikmati angin malam.

Jeizen menatap ke luar rumah lalu menghampiri kursi panjang yang memang di letakkan di sana sebagai tempat untuk bersantai. Jeizen duduk sambil menatap suasana sekitar rumah-nya yang masih terbilang cukup ramai. Entah kenapa saat berdiam diri seperti ini, pemikiran Jeizen kemana-mana namun kali ini sedikit berbeda. Sejak insiden almamater tadi sore, dia terus memikir-kan gadis bernama Lily itu. Melihat obsidian gadis itu membuat sesuatu di masa lalu milik Jeizen sedikit terbuka. Tapi itu bukan dia, kenapa Jeizen bisa mengangkat masa lalu-nya ketika itu bukan orang yang sama? Jeizen menghela nafas kasar, seperti Lily akan menjadi orang yang harus dia perhatikan.

•••

Gadis bermata bulat serta bermata sayu tersebut menatap langit malam yang terasa begitu indah setiap hari-nya. Lily suka melihat bintang yang berkelap-kelip di atas sana, Lily ingin menggapai-nya dan memberikan satu untuk ibu-nya. Lily terkekeh, kenapa imanjinasi-nya bisa menyerupai anak sekolah dasar. Meraih bintang? Di bawa pulang? Jawaban-nya adalah mustahil.

My Lily [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang