Lily menguap merasakan kantuk yang sudah mulai menguasai diri-nya. Bekerja hingga berakhir lembur membuat tenaga-nya terkuras, namun niat-nya untuk mengikuti study tour membuat-nya merasakan jika bekerja seperti ini tidak-lah sia-sia.
Tinggal beberapa langkah lagi rumah-nya sudah kelihatan. Lily hanya berjalan kaki, jarak antara rumah-nya dan kafe memang lumayan jauh tapi dia lebih memilih untuk berjalan kaki, lebih hemat.
Mata bulat-nya menyipit ketika melihat mobil mewah yang terparkir di depan pekarangan rumah-nya. Sekelebat fikiran-fikiran negatif mulai berkumpul. Lily mempercepat langkah-nya untuk melihat apa yang sebenar-nya terjadi. Sekarang semua tertuju pada ibu-nya.
Ketika sampai, Lily mengedarkan pandangan-nya mencoba melihat. Namun keadaan di luar rumah, sepi. Diri-nya memutuskan untuk masuk ke dalam, tapi baru beberapa langkah suara pintu rumah yang baru terbuka membuat Lily menghentik-kan langkah-nya. Terlihat di sana seorang pria paruh baya, yang sedang berbicara bersama ibu-nya dan Adinda yang terus menunduk. Dam itu sukses membuat Lily penasaran.
Dengan langkah ringan namun sedikit ragu, Lily memutuskan untuk mendekat. Samar-samar dia bisa mendengar percakapan mereka, ketika Lily mengetahui di mana titik-nya, sontak rahang-nya mengeras.
"Apa ibu? Itu benar?" Tanya Lily parau, membuat kedua orang yang sama sekali tidak mengetahui keberadaan-nya langsung menoleh. Lily tidak beranjak, bahkan sekarang mata bulat itu menghujam tajam seperti ingin menguliti lawan bicara-nya.
"Lily, kenapa?--apa yang kau lakukan di sini?" Ibu Lily menatap putri-nya dengan pandangan terkejut. Setahu-nya Lily sudah beristirahat jam seperti ini.
Sementara pria paruh baya tadi terlihat tersenyum jenaka, mendekati Lily yang tampak tidak bergeming. Gadis itu menatap pria tersebut dengan pandangan tajam.
"Kau cantik juga, siapa nama-mu?" Ucap-nya sambil menatap Lily. Namun Lily sama sekali tidak bergerak, netra-nya lurus menatap pria tersebut tidak minat.
"Kau tidak punya mulut?!" Sentak pria tersebut dan langsung memegang rahang Lily kasar. Lily meringis, merasakan sakit yang pada rahang bawah-nya.
"Dasar ibu maupun anak sama saja, sama-sama jalang!" Mata Lily membola mendengar ucapan pria tersebut. Dengan sekali sentakan tangan pria itu terlepas dari rahang-nya. Lily mengusap rahang-nya, menetralisir rasa sakit dari cengkraman pria tua itu.
"Anda tidak berhak berkata kasar seperti itu, karena anda sama sekali tidak tahu kenyataan-nya!" Ujar Lily ketus tak melepas tatapan tajam-nya pada pria tua yang sekarang malah menunjuk-kan senyum miring-nya.
"Tidak tahu diri, kau tidak tau apa yang di perbuat ibu-mu selama ini. Ibu-mu itu--"
"Cukup!" Teriak-kan ibu Lily sukses membuat Lily dan pria tersebut memusatkan perhatian mereka pada-nya. Adinda menatap nyalang ke arah pria tersebut. "Urusan-mu dengan-ku bukan dengan Lily! Hentikan omongan sampah-mu itu."
Suara tawa menggema, suasana tengah malam makin membuat tawa dari pria itu terdengar lebih jelas dan keras. Lily menatap-nya nyalang, tidak habis pikir, omongan seperti itu di tertawakan. Benar-benar tidak waras.
Tawa pria itu mulai berhenti di gantikan oleh tatapan-nya yang menghujam mereka datar. "Yaya, tutupi sesuka-mu. Dan jika putri-mu mengetahui-nya suatu saat nanti bersiap-lah untuk merasakan malu karena aib-mu sendiri."
Setelah mengatakan hal yang membuat Lily terbingung-bingung di tempat, pria itu lantas meninggalkan rumah mereka dan memasuki mobil mewah-nya dan berlalu dari sana. Lily menghela nafas, terlalu banyak hal mengejutkan yang terjadi dalam sehari. Lily sampai kewalahan sendiri mengatasi-nya.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Lily [Hiatus]
Teen FictionTembok yang ku bangun sekokoh mungkin, runtuh hanya dalam sekejap mata. Bukan tentang kisah remaja bucin. Hanya tentang Lily, gadis manis yang berusaha mencari kebagiaan-nya sendiri. Dan tentang Jeizen yang mencoba masuk, meyakinkan jika kebahagiaan...