Perjalanan menuju tempat pertemuan terasa begitu canggung, bukan untuk Jeizen tapi untuk dua Andraguna bersaudara. Apalagi Rena yang duduk bersampingan bersama Jeizen-- aura adik bungsunya itu benar-benar membuat dirinya tidak bisa berkutik.
Sedari tadipun Jeizen tidak pernah mengeluarkan sepatah katapun, membuat keadaan di dalam mobil terasa sangat mencekam. Erza hanya bisa menatap kedua adiknya melalui kaca mobil, dan berusaha menahan tawa ketika melihat raut kaku Rena.
Rena mendelik ketika mengetahui Erza yang tengah menatapnya dengan wajah menahan tawa, tunggu saja selepas dari acara pertemuan basi ini-- dia akan membalas kakak satu-satunya itu.
Rasanya Jeizen sungguh malas bahkan tidak sudi untuk mendatangi keluarga yang bunda sebut sebagai sahabatnya itu. Entah kenapa Jeizen merasa dia seperti berada di sebuah sinetron-- benar-benar menjengkelkan. Dan lebih menyebalkannya lagi, dia harus semobil dengan dua kakaknya yang sedari tadi saling mengejek melalui kaca depan mobil.
Jeizen mulai merasa risih dengan dengusan beruntun yang di keluarkan oleh Rena. Dengan tampang malas, Jeizen menatap kakak perempuannya itu yang sekarang bahkan masih asik menatap lurus ke arah kaca mobil. Rena sama sekali tidak tahu jika Jeizen menatapnya malas.
"Bisakah kalian diam? Kelakuan aneh kalian itu sangat mengusik," Ucap Jeizen geram. Sedari tadi dia sudah pusing memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nanti, dan dua kakaknya ini malah memperkeruh keadaan.
Baik Erza maupun Rena terdiam ketika mendengar ucapan tajam Jeizen. Mereka tidak ingin membuat resiko, Jeizen jika marah menyeramkan. Untuk itu hingga mobil berhenti di Restaurant mewah bergaya Itali, Erza dan Rena tak kunjung membuka mulut dan itu merupakan suatu keberuntungan bagi Jeizen.
Mereka bertiga berjalan dengan Rena yang berjalan di sebelah Jeizen dan menggandengan lengan pemuda itu. Demi apapun, sekarang tubuh Rena bergetar takut. Biasa-biasanya dia memang suka menjahili Jeizen, namun jika modelan Jeizen yang seperti sekarang mana mau dia. Bisa-bisa dia malah terkena imbasnya.
Mata Jeizen memicing menatap seorang gadis yang entah kenapa tidak terlalu familiar, duduk bersender membelakangi mereka. Namun Jeizen tidak terlalu memusingkan siapa yang akan di jodohkan dengan dirinya. Karena sekarang berbagai macam rencana, sudah hampir tersusun untuk menggagalkan perjodohan rendahan semacam ini.
Jeizen serta kakak-kakaknya tiba di meja makan tempat mereka bertemu untuk membahas tentang perjodohan. Namun ketika melihat siapa gadis yang akan di jodohkan dengannya, rasanya dia tidak harus merasa tidak perduli.
Dia sangat tahu gadis bertubuh tinggi yang sekarang juga menatapnya sama terkejut, Jeizen memutar bola matanya malas sekarang drama macam apa ini.
Jeizen masih setia berdiri dengan raut terkejutnya yang sedikit kentara. Melihat itu Ayah, Bunda serta Erza dan Rena ikut terdiam dan sedikit waswas jika nantinya Jeizen berbuat yang tidak-tidak.
Merasakan suasana yang sedikit berbeda, Jeizen memutuskan untuk duduk dan berusaha melupakan keterkejutannya, meskipun sampai sekarang saja dia sudah sepenuhnya yakin dengan kata jika Dunia itu sempit-- karena saat ini dia sudah melihat sendiri pembuktiannya.
Bukan hanya Jeizen yang terkejut di sini, nyatanya Rena yang baru menyadari gadis yang duduk di samping Jeizen rasanya dia pernah melihatnya. Rena sangat yakin akan hal itu.
"Jadi bisa kita mulai pertemuan malam ini?"
••••
Lily berjalan menyusuri trotoar sendirian, dia baru saja pulang dari tempat bekerja. Namun hatinya sedang merasa tidak baik-baik saja, study tour dimulai minggu depan dan uang yang dia kumpulkan masih belum cukup untuk melunasi pendaftarannya.
Helaan nafas kembali keluar, jika ada seseorang yang ingin membantunya, setidaknya dengan meminjamkannya uang. Lily sebenarnya bisa meminta tolong pada Sorania, gadis itu pasti akan bersedia membantunya-- tapi apa itu tidak berlebihan dengan umur pertemanan mereka yang masih seumur jagung. Dia tidak ingin di katai memeras Sorania nantinya.
Keadaan seperti ini terkadang membuat Lily dilema. Ingin merasakan hidup tentram dan bahagia namun semuanya hanya angan-angan semata.
"Ayah, Lily rindu." Ucap Lily sambil menatap hamparan bintang yang berjejer di atas sana. Lily tersenyum, entah kenapa kata-kata Ayahnya beberapa tahun lalu kembali teringat.
"Jika besar nanti, Lily ingin menjadi apa?" Ucap Satrio, Ayah Lily sambil mengelus surai panjang milik anak gadisnya itu.
Lily tampak berpikir. "Aku belum tau, masih belum terpikir. Tapi Ayah harus menemani Lily sampai Lily tau ingin menjadi apa nantinya."
Satrio tersenyum melihat wajah menggemaskan Lily. Namun wajahnya kembali redup, ketika menyadari jika dia tidak bisa menyanggupi permintaan anak satu-satunya itu. Satrio tahu diri jika dia sudah tidak lama lagi.
"Lily mau berjanji pada Ayah?"
Lily menoleh, lalu menatap wajah Ayahnya menunggu. "Berjanji apa?"
"Apapun yang terjadi Lily harus kuat, dan jika Ayah jauh dari Lily--" Ucapan Satrio terhenti, lalu dengan tatapan yang tidak dapat di artikan, Satrio menatap keluar menatap hamparan bintang lewat jendela yang tidak tertutup.
Satrio tersenyum, lalu kembali mengelus surai hitam legam Lily. "Lihat kelangit malam, bintang yang paling terang itu adalah Ayah"
Lily terdiam, tanpa sadar liquid bening mulai membanjiri wajah cantiknya. Dia tidak menyangka, malam itu adalah kali terakhirnya bersenda gurau bersama sang Ayah. Karena dua hari kemudian, Ayahnya drop dan di larikan ke Rumah Sakit-- namun Tuhan berkata lain, Ayahnya harus di jemput pulang oleh Tuhan.
Lily menghapus bulir air mata yang mulai keluar, menatap ke atas mencari bintang yang paling terang di sana. Ketika mendapatkannya, Lily tersenyum.
"Ayah, tenang di sana. Lily dan Ibu baik-baik saja di sini." Ucap Lily sendu. Namun dia meyakinkan diri untuk tetap kuat, karena itu menjadi permintaan terakhir Ayahnya.
Lily menghela nafas, lalu kembali melanjutkan perjalanannya menuju rumah. Namun baru beberapa langkah, Lily kembali menghentikan langkahnya-- di depan sana Lily seperti merasa agak familiar. Selain karena jarak, wajahnya tidak terlalu kentara karena penglihatan Lily yang agak buruk jika malam. Namun Lily mencoba bodoh amat dan kembali melanjutkan perjalanannya yang lagi-lagi tertunda.
Di tengah perjalanan, Lily merasa terpikir dengan Sorania. Hari ini Sorania tidak menghubunginya, bukannya merasa spesial namun dia merasa khawatir, biasanya Sorania akan selalu mengganggunya di room chat. Namun hari ini jangankan itu, bahkan gadis itu hilang bagai di telan bumi.
Entah kenapa pemikirannya malah terkesan negatif, seperti ada yang terjadi pada gadis itu dan dia sama sekali tidak tahu. Lily menghela nafas, kenapa dia sampai sejauh ini-- memangnya dia pantas mengurusi urusan orang lain? Dasar dia harus tahu diri. Sekalipun Sorania menganggapnya teman, namun dia pasti juga mempunyai privasi.
Lily memilih mengabaikan rasa penasarannya, karena saat ini dia sudah memasuki pekarangan rumahnya. Namun lagi-lagi rumahnya gelap, padahal ini sudah memasuki jam tengah malam namun Ibunya lagi-lagi belum pulang. Setiap hari selalu seperti itu, Lily bahkan sudah menaruh curiga pada Ibunya tersebut. Memang tidak baik, namun Lily sudah terlanjur tidak percaya sejak kejadian waktu itu.
Tidak ada salahnya kan? Dia hanya berusaha menerka-nerka apa sebenarnya yang terjadi. Dengan tampang malas Lily memasuki rumah sederhananya, dia harus cepat-cepat membersihkan diri dan beristirahat-- karena besok bahkan setiap hari adalah hari yang berat untuknya.
______________________
See you:)

KAMU SEDANG MEMBACA
My Lily [Hiatus]
Teen FictionTembok yang ku bangun sekokoh mungkin, runtuh hanya dalam sekejap mata. Bukan tentang kisah remaja bucin. Hanya tentang Lily, gadis manis yang berusaha mencari kebagiaan-nya sendiri. Dan tentang Jeizen yang mencoba masuk, meyakinkan jika kebahagiaan...