Jeizen menatap orang-orang yang berada di depannya tanpa ekspresi. Seharian merasa kesal karena merasa ada yang di sembunyikan, dan ketika mengetahuinya-- rasanya seperti kembali tidak ingin mendengarnya.
Dirinya merasa di tipu, di permainkan. Jeizen mendengus, dia mengira bundanya, ayahnya bahkan kakak-kakaknya adalah orang-orang yang pantas dia percayai. Namun apa sekarang? Mereka justru menjerumuskan Jeizen dalam sebuah lubang, dan membuat luka menganga jauh di dalam sana. Hanya satu yang Jeizen petik, air tenang tidak menjamin tidak adanya buaya.
Bunda, Ayah, Erza dan juga Rena menatap Jeizen yang hanya diam dengan tatapan bersalah. Mereka tahu, si bungsu pasti sangat kecewa. Anak laki-laki itu pasti merasa di lengserkan.
"Jei, bunda--"
"Tidak sekalian saja, kalian menjualku di luar sana." Rena meringis mendengar ucapan sarkas Jeizen. Dengan sedikit keberanian gadis itu mencoba mendekati si bungsu takut-takut.
Pergerakan Rena cukup untuk membuat Jeizen mengarahkan obsidiannya pada kakak perempuan satu-satunya itu. Dirinya tidak bergeming, membiarkan Rena mendekatinya. Dari awal Jeizen memang tidak menaruh rasa kesal pada kakaknya itu.
Rena meyakinkan diri, dan langsung menghadap Jeizen yang demi apapun Rena hampir berpikir kembali untuk berbicara pada adiknya itu. Wajah Jeizen sungguh tidak bersahabat.
"Ehm, Jei-- aku tidak tau sebenarnya tentang rencana Ayah, Bunda serta Bang Erza. Tapi--" Perkataan Rena tiba-tiba terhenti. Demi wajah menjengkelkan milik Erza, Rena tidak bisa melanjutkan ucapannya jika Jeizen menatapnya seperti itu.
Melihat wajah gugup Rena, Erza menepuk dahinya. Adik perempuannya itu memang tidak bisa di harap untuk membujuk Jeizen. Lihat saja bahkan hanya di tatap datar oleh Jeizen, Rena sudah skakmat.
Jeizen mendesah pelan, lalu beralih menatap Erza kemudian beralih pada bunda dan finish pada ayah. Menghujam mereka dengan tatapan tidak santai.
"Alasan apa yang membuat kalian mengorbankanku?" Tanya Jeizen sarkas.
"Tidak ada yang mengorbankanmu Jei, bunda bersumpah." Jawab bunda sambil memijit pelipisnya.
"Lalu? Ada yang bisa menjelaskannya?" Tanya Jeizen sambil menatap mereka satu persatu.
Ayah berdehem, "Sebaiknya kita duduk dulu, ayah akan menjelaskannya."
Jeizen mengangguk dan langsung memimpin mereka menuju ke ruang keluarga. Duduk tenang, dan mencoba mempersiapkan diri mendengar alasan-alasan yang akan di sampaikan oleh mereka nantinya.
Ayah mulai menatap Jeizen dengan tatapan seriusnya. "Kamu yakin gak bakalan setuju dengan keputusan Ayah, bunda sama kakak-kakak kamu?"
Jeizen menerawang, menatap mereka dengan tatapan yang sulit di artikan. Jika keadaannya seperti ini, bahkan Ayah belum menjelaskan apapun-- apa dia harus menjawab jika dia tidak apa-apa dengan semua ketidakjelasan ini.
Tidak ada jawaban dari Jeizen, pemuda itu masih setia dengan keheningannya. Melihat Jeizen yang hanya diam, Erza dan bunda saling bertatapan. Di saat seperti ini, mereka adalah pihak yang paling gelisah.
"Ayah hanya ingin yang terbaik Jei," Ucap ayah sambil menatap Jeizen yang masih tidak bergeming.
Erza berdehem, membuat semua eksistensi menatapnya. "Ehm, Jei-- aku sangat tau jika kau pasti sangat kecewa dengan semua ini. Tapi kuharap kau bisa memahami keadaan."
"Keadaan seperti apa yang harus aku pahami?" Tanya Jeizen sinis.
"Keadaan seperti sekarang ini misalnya," Ucapan Rena barusan membuat semua orang yang ada di sana menatap gadis itu, yang langsung membuat Rena kikuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lily [Hiatus]
Genç KurguTembok yang ku bangun sekokoh mungkin, runtuh hanya dalam sekejap mata. Bukan tentang kisah remaja bucin. Hanya tentang Lily, gadis manis yang berusaha mencari kebagiaan-nya sendiri. Dan tentang Jeizen yang mencoba masuk, meyakinkan jika kebahagiaan...