Part 23
Bagaimana rasanya mendapat suatu penolakan?
////
Seminggu telah berlalu, kini Jimin sudah diperbolehkan untuk pulang dengan berbagai macam aturan yang Yoongi berikan pada anak itu. Dari mulai tidak boleh lelah, tidak boleh telat makan dan minum obat, sampai peraturan tidur di bawah jam sebelas malam. Sepertinya Yoongi benar-benar ingin mencoba bekerja menjadi baby sister, bukan?Siang itu dingin sekali. Semalam, salju pertama akhirnya turun. Dan dapat dipastikan bahwa hari ini pasti akan sangat dingin sekali.
Yoongi dan Seokjin sudah memastikan bahwa pakaian yang Jimin kenakan sudah cukup hangat sedari tadi. Terus menambahkan mantel dan syal ke tubuh pria mungil yang hanya bisa menghela napasnya jengah. Jimin itu ingin pulang, bukan ingin mendaki gunung.
Setelah selesai dengan pakaian Jimin, Seokjin dan Taehyung akhirnya pergi mengantarkan Jimin pulang. Yoongi tidak bisa mengantar karena pasiennya cukup banyak hari ini. Jiminpun memahami, lagipula Jimin bisa pulang sendiri sebenarnya. Tidak perlu diantar, 'kan ada Taxi. Tapi siapa yang bisa mengalahkan keinginan dari seorang Kim Taehyung?
Siang itu benar-benar dingin, Jimin sesekali menggosokkan lengannya lalu ia tempelkan pada kedua pipinya yang kini sudah tak lagi tembam itu. Ingin menyalurkan kehangatan sebisanya, tapi dingin siang itu benar-benar dingin hingga seperti menusuk ke tulang.
"Butuh jaket lagi, Jim?"
Taehyung yang duduk di samping Jimin menyadari jika pria itu tengah kedinginan.
"Tidak perlu. Lagipula sebentar lagi sudah sampai."
Jimin memandang butiran salju yang lagi-lagi turun melalui jendela mobil. Seokjin fokus menyetir dengan ditemani alunan musik yang berasal dari radio mobil.
Jimin jadi memikirkan pesan yang Paman Han kirim beberapa menit lalu sebelum Jimin keluar dari rumah sakit. Pesan singkat yang selalu membuat Jimin takut dan enggan untuk pulang ke rumahnya.
'Jiminie, kamu di mana? Tuan besar sudah pulang sejak kemarin malam.'
Ayahnya ada di rumah.
Tidak rindu? Bodoh, tentu saja Jimin rindu. Ayahnya sudah hampir setahun pergi dengan alasan bisnis, anak mana yang tidak rindu?
Jimin hanya takut jika kejadian beberapa tahun yang lalu terulang lagi. Ketika Ayahnya harus marah-marah dengan keadaan yang tidak sadar.
Malam itu Tuan Besar Park sampai ke rumah. Setelah menyelasaikan beberapa pekerjaannya di luar kota selama hampir satu bulan lamanya, membuat sang Tuan Besar merasa sangat lelah lalu memilih untuk sekedar minum-minum untuk menghilangkan rasa penatnya.
Dan dengan begitu, Tuan Park pun pulang dengan keadaan yang mabuk. Kemeja yang berantakan, jas yang sudah tak lagi berada pada tempatnya, dan wajahnya yang ketara sekali jika pria berumur lebih dari empat puluh tahun itu tengah mabuk berat.
Disusul Paman Han yang berjalan di belakang Tuan Park dengan kedua tangannya yang berjaga-jaga jika Tuan Besarnya itu jatuh karena tidak bisa lagi menahan rasa kantuk.
"A-ayah? Paman Han, apa yang terjadi dengan Ayah?"
Jimin yang keluar dari kamarnya, berniat untuk mengambil minum di dapur itupun harus dibuat terkejut dengan kehadiran sang Ayah yang pulang dengan keadaan yang sangat kacau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Promise. [1]
Ficción GeneralVMin [Brothership] Bagaimana cara Tuhan menghadirkan kita itu indah, Jim. Kau tak bisa mengelaknya. Di sore itu, dengan saksi awan jingga yang kusuka. Kau dan aku berjanji untuk kembali. Berjanji untuk selalu bersama-sama. Langit yang tadinya cerah...