Tania's pov
Sudah satu bulan aku berada di tempat ini. Rasanya sepi. Aku bersyukur dia tidak melakukan kekerasan lagi padaku. Bahkan dia memperbolehkan aku berkeliling. Dia kembali seperti sediakala. Kembali seperti sahabatku. Masih bisakah aku memanggilmu dengan sebutan sahabat? Dapatkah aku dengan dia kembali berhubungan seperti dulu?
Walau dia sudah baik kepadaku, sudah tak menyiksaku lagi, namun aku tak mau berada di tempat ini terus. Lalu kesempatan itu datang. Kesempatan untukku meloloskan diri atau dapat disebut dengan kabur.
Malam itu, aku berhasil kabur. Namun, aku bingung harus kemana. Aku tak tau daerah sini. Lebih tepatnya aku tak tau di mana aku sekarang ini. Di sini hanya ada sebuah jalan beraspal yang di kelilingi dengan pohon-pohon yang tinggi. Aku sedikit takut. Namun aku harus tetap terus berjalan, jika aku tak mau tertangkap.
Aku terus menyusuri jalan beraspal ini. Tiba-tiba saja aku melihat cahaya dari sebelah kanan jalan. Lebih tepatnya di dalam pepohonan yang tinggi menjulang itu atau kusebut hutan ya? Entahlah. Aku pikir tak ada salahnya ke cahaya itu. Siapa tau aku bisa meminta bantuan di sana. Walau aku merasa takut juga, namun tak ada salahnya mencoba bukan? Lebih baik mati setelah berperang dari pada mati tak melakukan apa-apa. Saat aku berjalan menghampiri cahaya itu dan kini jarakku sudah semakin dekat. Sekarang aku mengetahui cahaya apa itu. Itu adalah sebuah rumah atau gubuk lebih tepatnya. Aku lanjutkan jalanku dan akhirnya sampai di depan pintu gubuk tersebut.
Tok tok tok... Aku mengetuk pintu itu sambil berharap bahwa pemilik gubuk ini baik hati. Tak lama kemudia pintu tersebut terbuka secara perlahan. Aku dapat melihat seorang wanita paruh baya yang mungkin usianya sekitar 45 tahun.
"Ada yang bisa saya bantu, nona?" tanya wanita tersebut dengan senyuman di bibirnya.
"Bu, dapatkah ibu membantu saya?" tanyaku pada wanita tersebut.
"Jika saya bisa membantu, saya akan nembantu anda, nona" jawab wanita itu dengan tidak melepaskan senyumannya
"Bolehkan saya menginap di sini hingga matahari terbit?" tanyaku. Aku lihat wanita tersebut agak ragu.
"Saya... Saya janji, saya akan segera pergi dari tempat ini begitu matahari memancarkan sinarnya bu." tambahku
"Begini nona, saya mau saja mengzinkan anda untuk menginap. Namun, lihatlah ini gubuk. Nona yakin ingin menginap di sini?" tanya wanita itu..
"Ya, bu. Saya sangan membutuhkan tempat untuk beristirahat malam ini" jawabku
"Baiklah. Mari masuk, nona. Maaf jika berantakan." katanya
"Permisi. Wow, tempatmu sangat nyaman, bu." kataku
"Terima kasih, nona"
"Ah ya, panggil aku Tania saja."
"Baik lah Tania. Panggil aku Martha."
Kami pun malam itu menhobrol hingga larut. Martha bercerita bahwa dahulu tempat ini tak seperti hutan, melainkan seperti perkampungan yang layak dihuni dan ia sudah tinggal di sini saat ia berumur 25 tahun, saat itu ia baru saja menikah. Pada awalnya keluarga kecil Martha sangat bahagia. Memiliki suami yang sayang dan perhatian kepadanya dan juga memiliki satu orang anak perempuan. Namun, kebahagiannya tak berlangsung lama. Perkampungan dibantai dengan sadisnya oleh orang asing, entah apa motiv mereka. Tak terhitung lagi berapa jumlah warga yang mati, termasuk suami dan anak Martha. Aku ikut terpukul mendengar ceritanya. Namun ia berkata...
"Walau aku kehilangan harta dan keluargaku. Aku masih bersyukur karena Tuhan masih menolongku dari kehancuran. Tuhan mengirimkan keluarga yang baik hati untuk menolongku."
Aku penasaran siapakah keluarga tersebut. Aku tak sempat bertanya karena waktu sudah semakin larut dan Martha menyuruhku agar lekas tidur.
Keesokan harinya
Aku bangun di pagi hari yang cerah. Aku melihat Martha sedang melakukan sesuatu di dapur. Ah sepertinya ia sedang memasak.
"Pagi, Martha. Apa yang sedang kau lakukan?" tanyaku
"Pagi, Tania. Aku sedang membuatkan mu bubur dan teh. Maaf hanya dapat memberikanmu ini." jawabnya seraya menyodorkan aku semangkuk bubur yang terlihat sangat menggiurkan dan secangkir teh.
"Terima kasih Martha. Ini sudah lebih dari cukup." kataku
"Makanlah selagi hangat" katanya seraya tersenyum.
"Kau tidak sarapan?" tanyaku
"Aku sudah duluan tadi." katanya dengan yakin dan tidak lepas dari senyum. Aku pun mengangguk dan memberikan senyum tanda terima kasihku.
Saat aku sudah selesai makan. Aku dan Martha kembali berbincang.
"Tania, bolehkah aku tau apa yang menyebabkan kau pergi ke sini dimalam hari?" tanyanya
"Aku.... Apa kau bisa menjaga rahasia?" tanyaku
"Ya, kau bisa percaya kepadaku" katanya yakin
"Aku sedang kabur dari penculikku."
"Apa? Kau sedang di culik? Astaga."
"Ya, Martha."
"Apa yang menyebabkan kau diculik? Maksudku, tidak mungkin seseorang menculikmu begitu saja kan? Pasti ada motivnya."
"Entahlah. Aku tak tau...."
"Baiklah, sebaiknya kau tetap berada di sini dulu untuk memulihkan tenagamu agar kau dapat berlari menjauh dari daerah sini."
"Ya. Jika kau tak keberatan"
"Tentu saja tidak Tania. Kau seperti anakku. Mana mungkin aku keberatan." katanya. Akhirnya aku menginap di rumah Martha selama 3 hari.
Entah bagai mana di hari terakhir aku menginap di tempat Martha. Mereka, orang suruhan dia berhasil menemukanku. Aku panik. Saat aku ingin kabur tiba-tiba saja Martha menahan tanganku. Aku menatapnya dengan bingung.
"Maafkan aku, Tania. Sungguh aku tak ingin melakukan ini. Namun, aku harus. Karena aku memiliki hutang nyawa terhadap keluarganya." katanya sambil menangis, aku menatapnya nanar. Terjawab sudah siapa keluarga yang menolongnya. Aku tak habis pikir, bagaimana bisa ia melakukan ini kepadaku? Mengapa ia melakukan ini jika tak ingin? Ah, ya benar. Karena hutang nyawa, hutang balas budi. Tiba-tiba saja aku merasakan susatu di hidungku dan tiba-tiba saja semua menjadi gelap....
♣
Haii... Semogaa kalian tak bosan menunggu;) dan semoga saja cerita ini tak membosankan:) terima kasih untuk kalian yang sudah/masih mau meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini:') vote dan komen ditunggu:D Ayo tengok media ada Martha;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry
Mystery / ThrillerBaru kali ini ada orang yang mau berkenalan denganku dan mau menjadi temanku. Biasanya orang-orang hanya akan melirik ku sekali jika sedang melewatiku, bahkan tak sedikit pula yang tak mengacuhkan aku. Dia berbeda. Aku tak ingin dia pergi dariku nan...