《15》 Erlen Lubi

27 5 0
                                    

Hari ini hari Minggu, sudah pasti libur. Entah apa yang akan aku lakukan sampai matahari terbenam sehingga aku bisa segera tidur kembali. Pagi ini Bi Ijah izin menjenguk keluarga di kampung. Sore nanti beliau kembali. Pak Narno? Tentu sedang berjaga-jaga di pos depan. Dan hanya aku seorang di dalam rumah. Sangat sepi dan sunyi. Sebelum pergi, Bi Ijah membuatkan 'ku sarapan roti tawar dengan selai kacang dan parutan keju lengkap dengan milktea.

Rencananya, pagi ini aku hanya akan duduk duduk di balkon sambil makan roti buatan Bi Ijah. Semilir angin dan embun pagi serasa mengelus kulitku dan menemani pagi hari yang sunyi ini. Ku sruput milktea dari gelas kaca bertuliskan namaku ya, Erlen Lubi lengkap dengan emoticon love di sana pemberian papa dan mama. Gelas ini akan menjadi gelas kesayanganku untuk selamanya. Mungkin cuma benda ini yang aku punya dari pemberian dengan kenangan papa dan mama.

Ku ambil buku album bertuliskan 'I love you more my fam' sebagai judul di sampul bergambar awan cerah itu. 'Ku buka halaman pertama terletak foto saat aku masih bayi, halaman ke dua dan ketiga saat balita. Halaman ke empat menunjukkan diriku mengenakan seragam taman kanak-kanak berwarna biru sedang tersenyum lebar lengkap dengan papa dan mama di samping kanan dan kiriku yang tak luput senyumnya. Saat itu, kehidupan keluargaku belum se-nyaman ini. Masih sering makan nasi dengan kelapa yang terasa asin, krupuk dan kecap. Rasanya lebih baik hidup susah tapi hangat daripada seperti ini. Aku rindu bahagianya papa dan mama memilikiku.

Ku putuskan menyudahi kesedihan ini dan kembali menyruput minuman di sampingku. Beberapa setelahnya, mobil hitam melintas di depan rumah dengan kecepatan lirih seketika jantungku berdegup kencang. Rasanya rambutku yang pendek ini mengembang tertiup angin mobil itu. Aku tak tau apa yang terjadi.

Memikirkan masa lalu akan lebih terasa menyulitkan mungkin. Tapi, kasus kematian ini sungguh rumit. Memang sudah ada tiik terang satu pelaku. Tapi, jika menangkap pelaku itu, pelaku satunya akan jelas dapat mudah kabur. Dengan segala alibi yang ia buat-buat. Hmm, apakah aku memang tidak cocok menjadi detektif? Mengapa dalam kasus ini aku tidak pernah menemukan titik terang? Yaampun. Meratap lagi.

Cring

Bunyi handphoneku. Sontak aku menuju kasur dan meraih handphone yang berada di bawah bantal. Tak ingin merasa ngantuk aku memilih duduk lagi di balkon.

Telfon dari Vektor? Ada apa,?

"Halo?" Kataku sebagai pembuka. Mood santaiku pagi ini sengaja aku eman-perjuangin supaya ga hilang-dengan ga nyari ribut sama Vektor.

"Ketemuan yuk. Cafeteria depan skolah ya..20 menit lagi. Oke?" Katanya to the point. Wah gila sih. Gimana sih ni bocah. Tiba tiba ngajak ketemuan ndadak lagi. Mau apa coba?

"Gak ah. Males. Buat apa?!" Jawabku ya tentu sambil teriak.

"Udah deh ayoo gue traktir deh. Oke sip." Setelahnya hanya bunyi tut tut yang terdengar.

Ih ogah banget ke sana mager. Enakan di sini. Wkwk. Selamat menunggu, Vektor Skalar. Mau nonton tv aja deh. Ahahaah. Keciann.

Wuihh udah 30 menit sejak Vektor nelpon. Aku ga bisa bayangin udah berapa porsi jus yang dia habisin. Wakakaka.

Emm...bikin nasi goreng enak kali ya. Akhirnya aku putusin buat ke dapur and make fried rice. Tak lama kemudian, taraaa sudah jadi nasi goreng seafood pedass. Ihihi...

Tok.tok.tok. suara pintu diketuk. Siapa yang dateng? Perasaan ngga bikin janji sama siapa siapa, ya kecuali janji gila Vektor.

Ku berjalan menuju pintu dan membuka knopnya.

"Vektor? Ngapain loe ke sini?" Tanyaku setelah melihat dia berkacak pinggang di depan pintu rumahku.

"Seharusnya gue yang tanya. Kenapa loe di sini. Bukannya gue udah bilang buat ke Cafeteria. Dasar bandel!" Katanya.

WHO IS THE MURDERER -END-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang