Renata telah menanggalkan segala konsep hidup idealisnya sejak ia menginjak usia dua puluh dua. Quarter life crisis orang-orang menyebutnya. Hatinya telah mati sejak saat itu. Terhitung sejak ia memasuki awal masa dewasanya, ia tak lagi ingin memimpikan hidup seindah pikiran naifnya saat SMA. Terlebih sejak kecelakaan merenggut nyawa ke dua orang tuanya, Renata sudah kehilangan separuh bayangan masa depannya.
Gadis itu benar-benar tak ingin berfikir keras membayangkan hal-hal besar yang mungkin saja dapat mengubah hidupnya. Seolah telah menyerahkan hidup sepenuhnya pada garis takdir yang tak bermuara. Rasanya hidup di atas air seperti ini saja sudah cukup menyenangkan untuknya. Dengan sedikit banyak kejutan yang tak pernah diduganya. Menjalani hidup sederhana dengan kebahagian-kebahagiaan kecil di sekitranya. Ia tak perlu berkelana mencari cinta seperti Joana, ataupun mengejar karier seperti Nindyta. Setiap orang memiliki tujuan hidupnya sendiri-sendiri. Tak masalah bagi Renata jika sumber kebahagiaannya hanya terpusat pada keluarga Tante Manda.
Namun hari ini ia merasakan sesuatu yang pilu menikam jantungnya. Membuatnya sakit meski tak ada satupun yang menyerangnya. Sebut saja ia picik karena tak dapat sepenuhnya berbahagia melihat undangan pernikahan Joana. Bukannya ia iri atau tidak ingin melihat temannya bahagia, hanya saja ada sedikit penyesalan yang ia rasakan saat ini. Sepertinya selama ini ia terlalu sibuk untuk menyerah tanpa mau sedikit saja berusaha.
Menikah memang tidak pernah masuk dalam daftar hal yang paling diinginkannya. Namun menikah adalah pilihan besar yang dapat diambil seseorang untuk kehidupan barunya. Meskipun Joana lebih sering menunjukkan ketidakwarasannya, Renata tahu seberapa jauh gadis itu telah menata masa depannya. Sedikit banyak ia menyesal mengapa pertambahan usianya tidak serta merta membuatnya berpikir dewasa.
Belum lagi tentang sahabatnya yang lain, Nindyta. Renata tahu sedari awal gadis briliant itu bukanlah tandingannya. Gadis itu selalu mampu melangkah sepuluh bahkan seratus langkah tepat di depannya. Dengan kapasitas otak yang di atas rata-rata dan ketekunan yang menjadi bagian darinya, Renata jelas tak pantas merasa iri dengan karier gemerlap di belakang temannya. Memang hal hebat apa saja yang pernah ia lakukan selain terseok-seok menyelesaikan thesisnya.
Waktu telah berlalu, mereka telah tumbuh. Joana akan pergi menyongsong masa depannya. Begitupun dengan Nindyta yang juga akan meninggalkannya mengejar mimpinya. Sedangkan ia, Renata Gisella Salim, masih belum beranjak dari peraduannya. Yang sudah tidak tahu mimpi apa lagi yang ingin digapainya. Ia telah menyelesaikan pendidikannya, mendapatkan pekerjaan yang menyenangkan dan hidup yang ia inginkan sesuai dengan berkat Tuhan. Namun tetap saja, melihat orang-orang terdekatnya melangkah ke depan membuatnya merasa begitu kecil. Semua orang akan pergi tapi tidak dengan dirinya.
'ting.' Satu pesan masuk menyeringai memenuhi ponselnya, sedikit mengalihkan perhatian Renata dari pikirannya.
Abrian:
Just wondering what was this girl watching.
lagi nontonin apa sih, Gi?
Serius amat.
bokep jepun ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperceptible Boundary [COMPLETED]
Fanfiction"Mas Abrian... aku suka kamu." Ujar gadis itu tiba-tiba, tepat di pinggir lapangan sekolah saat tak ada siapapun di sana. Tepat sebelum Brian melanjutkan langkah menuju hall utama untuk pertunjukan bandnya. Gadis itu terlihat sangat biasa, tanpa ro...