Hai... For the very first time I put my note in the beginning of the story so that I just wanna say millions thanks for keep reading my story until this chapter. Thanks for leaving comment and votes, thanks for appreciating my work :') meskipun gak banyak, it's okay. Aku percaya jejak yg kalian tinggalkan adalah bentuk apresiasi paling tinggi utk ceritaku ini. Kalo emang gak banyak vomment mungkin emang ada sesuatu yg ngebuat ceritaku kurang ngepersuade kalian utk menjejak hihihi...
I think I would be too greedy if I asked or forced you to vote or comment kalo cerita aku emang gak sebagus itu. It's okay, but If u don't mind and really like mine, lemme know by leaving a comment or a vote hihihi... Hope u enjoy it :D
-
Renata berdiri gusar di loby. Beberapa kali ia melihat Chronox coklat di tangan kirinya secara konstan. Oh ini belum sepuluh menit sejak Feby mengabarinya untuk pergi. Namun rasanya sudah seperti berabad-abad berada di situasi ini. Sebenarnya ia tidak begitu mempermasalahkan kegiatan menunggunya. Toh memang ia yang bersiap lebih awal. Yang menjadi masalah adalah siapa yang ditunggunya.
Entahlah, rasanya benar-benar tidak nyaman jika harus berdiam diri bersama pria itu untuk beberapa jam ke depan.
"dari Tim Bahasa Inggris Mbak Renata jadinya?" suara baritone itu kembali terdengar. Renata mengangkat kepala memperhatikan Khalid yang sudah bersiap dengan kemeja putih tulangnya. Wajahnya tampak segar dengan beberapa bulir air yang masih mengaliri pelipis dan rambut cepaknya.
Take a deep breath, Re.
"iya Mas. Kerjaannya Mbak Feby lagi banyak-banyaknya." Khalid tidak mengatakan banyak. Ia lalu membimbing Renata untuk memasuki Mazda putihnya yang telah berada di depan loby.
Mari berdoa agar perjalanan singkat ini tidak benar-benar menyebalkan.
____
Renata terpekur di tempatnya. Jam di atas dashboard telah menunjukkan pukul tiga belas lebih satu. Itu berarti sudah satu jam lebih mobil itu membawanya pergi. Tak banyak hal yang bisa ia lakukan di sini selain duduk dan merasa bosan.
Ya, setidaknya gadis itu telah memanfaatkan lima menit pertamanya untuk memperhatikan jalanan. Lalu tiga puluh menit berikutnya untuk membaca berita terkini. Dan sisanya ia gunakan untuk kembali mengedarkan pandangannya secara menyeluruh melihat-lihat interior mobil Khalid ini.
Bukan sesuatu yang mengejutkan jika melihat perawakan necis Khalid sehari-hari dan menemukan interior mobilnya sedemikian rapi. Renata bahkan tak menemukan debu di sepanjang tangannya mengusapkan jari. Semuanya terlihat normal dan pasti. Tak ada sampah berserakan di sana sini, air mineral yang tersedia di setiap pintu, mini recycle bin di bagian tengah dan satu box tissue di tempatnya. Yang tidak ia sukai hanya satu, aroma manis kopi yang menguar dari mobil ini.
Baiklah, Renata tahu menilai bahkan menyentuh barang milik orang lain bukanlah hal yang terpuji. Gadis itu hanya merasa kebosanan harus berada satu mobil dengan seseorang yang lebih banyak menggumam. Untuk ukuran seseorang yang tidak pandai berbasa-basi, ia bahkan sudah menurunkan egonya dengan membuka pembicaraan. Tapi balasan laki-laki itu tidak jauh- jauh dari anggukan dan gumamam.
"Mas Khalid udah lama kerja di Alphabeta?"
"heum."
"sering lembur kayak waktu itu juga?"
Laki-laki itu tampak tidak begitu mempedulikan Renata di sebelahnya.
"lumayan."
See. Tidak berlebihan kan jika Renata bilang laki-laki ini menyebalkan? Demi apapun yang ada di dunia ini, dia tidak pernah tertarik sama sekali dengan kehidupan pribadi laki-laki ini. Yang ia lakukan tadi hanya sebuah basa-basi. Tapi tidak bisakah laki-laki ini memberikan jawaban yang lebih manusiawi? Tidak perlu sampai menanyainya balik. Cukup menjawab pertanyaannya dengan baik. Jangan salahkan Renata jika besok saat harus mengisi angket penilaian karyawan dia akan membubuhkan minus seratus untuk etikanya yang menyebalkan ini.
Untuk menghilangkan rasa jengkelnya -yang mungkin sedikit berlebihan- gadis itu memilih mengalihkan perhatiannya pada dashboard di depannya. Memainkan roll pengatur suhu sebelum pada akhirnya laki-laki berdagu runcing itu membuka mulutnya.
"ACnya jangan dikecilkan lagi, Mbak. Saya alergi dingin."
Fine. She wont touch every single inch thing that this man has. Puas?
Gadis itu lalu beralih memainkan ponselnya lagi. Sebenarnya dia tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan benda persegi panjang ini. Ia bukan tipe gadis yang sangat bergantung pada ponselnya. Menurutnya memainkan ponsel saat bersama orang lain adalah tindakan tidak terpuji. Tapi untuk kali ini -lagi-lagi demi seorang Khalid Kaca Negara- ia rela melakukan hal-hal diluar kebiasaannya.
"tolong jangan memutar lagu berisik seperti itu, mbak. Saya tidak bisa berkonsentrasi." Ujar Khalid tanpa diminta.
Renata melongo dibuatnya. Ia benar-benar tidak habis pikir. Dimana letak berisiknya Lose You to Love Me milik Selena hingga laki-laki itu bersedia mengeluarkan dua kalimat lengkap lebih dari kata 'lumayan' hanya untuk menegurnya. Jika sudah seperti ini bukankah jelas jika laki-laki itu hanya murni terganggu dengan kehadirannya?
Sekarang ia paham kenapa Khalid mengucapkan kalimat manis beberapa hari lalu.
"lain kali jangan naik kendaraan umum kalau terpaksa harus lembur."
Apa kata Nindy kemarin? 'naksir lo kali'? Naksir lo my ass. Lupakan saja. Pria itu jelas-jelas merasa keberatan atas eksistensinya. Baik sekarang atau hari lalu, kehadirannya tidak lebih dari sebuah pengganggu. Berhenti berfikir yang bukan-bukan Renata Gisella Salim. Gerutunya dalam hati.
____
Pertemuan itu tidak mamakan waktu lama. Jauh lebih cepat dari apa yang Renata bayangkan sebelumnya. Dia pikir akan ada banyak hal yang menjadi pertimbangan, atau mungkin menemukan beberapa kesalahan format yang mungkin sedikit fatal. Catatan revisi yang diberikan Feby jelas membantu. Ia tidak perlu repot-repot memeriksa bab demi bab untuk menemukan letak kesalahan. Terlebih pihak penerbit sangat mudah untuk dimintai.
Renata mengedarkan pandangan memperhatikan sekitar. Sebenarnya ia tidak begitu peduli, namun tak melihat Khalid di sekitarnya cukup membuatnya bertanya-tanya. Laki-laki ini tidak benar-benar meninggalkannya sendiri, kan?
"Teh Rena nyariin si Aa'?" tebak perempuan gempal berambut lurus hasil catokan itu menegurnya.
"Ha?" meskipun sempat bingung dengan panggilan yang disematkan kepadanya, gadis itu akhirnya mengiyakan juga.
"A' Khalidnya ada di warung depan Teh. asyik ngobrol sama Abah sama Mamang di sana." Renata lalu mengikuti arah pandang Mbak Yusna yang menunjuk warung kecil di depan kantor yang lebih mirip seperti rumah.
Wajah laki-laki itu jelas seratus delapan puluh derajat berbeda. Tidak seperti Khalid kaca Negara yang beberapa saat lalu membuatnya naik darah. Mata laki-laki itu melengkung menunjukkan rona ramah. Ada kerutan halus di dekat matanya saat sesekali ia tertawa. Renata sempat dibuat terperangah, Wow, bisa senyum juga masnya.
"A' Khalid mah tiap ke sini pasti nyamperin si Abah. Katanya kalo lihat Abah pasti keiinget ayahnya. Mana mungkin orang klimis semacam A' Khalid pernah hidup susah. Iya kan, Teh?"
Renata tersenyum menimpali, "iya kali. Bisa aja kan dia kayanya karena dapet lotre."
"si Teteh mah, aya-aya wae." Kemudian keduanya tertawa.
____
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperceptible Boundary [COMPLETED]
Fanfiction"Mas Abrian... aku suka kamu." Ujar gadis itu tiba-tiba, tepat di pinggir lapangan sekolah saat tak ada siapapun di sana. Tepat sebelum Brian melanjutkan langkah menuju hall utama untuk pertunjukan bandnya. Gadis itu terlihat sangat biasa, tanpa ro...