26. How Men Get Along

1.5K 268 108
                                    


Bismillah update (: Happy reading...

____

"mie pangsit?" tanya Renata saat motor besar Brian membawanya ke salah satu kedai mie terkenal yang belum pernah mereka datangi sebelumnya.

"waktu kapan itu lo kan bilang penasaran sama kedai mie ini. So that I take you here."

"that was my shitty thought a couple days ago. Bahkan sebelum lo manggung di Bandung kan?" Gumam Renata hampir tak terdengar, gadis itu lantas memandang Brian yang telah siap selepas memarkir motornya. Pria itu telah menanggalkan jaket kulitnya, menyisakan turtle neck hitam yang melekat tepat pada tubuh atletisnya. Wow... kenapa Renata bau tahu terdapat pahatan indah di balik jaket kulit itu. Astaga... get your stright mind back, Re.

"I don't even remember that I have ever told you that." Ujar Renata mengalihkan pikiran kotornya. Gadis itu lantas memandang wajah Brian yang tidak pernah sedikitpun terlihat lelah meskipun baru saja menyelesaikan tur konsernya. Mereka sempat tidak bertemu dalam kurun waktu tiga minggu karena jadwal Brian yang kelewat padat. Jika sebelum-sebelumnya laki-laki itu sempat menghilang tanpa kabar, kali ini, saat ia pergi, tidak seharipun Brian tidak menghubunginya. Entah pesan singkat lewat Whassap ataupun telfon maupun video call.

Yang Renata ingat, ia memang pernah ingin mengunjungi tempat ini. Tapi itu sudah lama sekali, terlalu lama hingga gadis pelupa ini sudah tidak bisa mengingat lagi.

Sudah bukan rahasia lagi jika Renata adalah seorang pelupa. Rasanya sangat berbanding terbalik dengan laki-laki berambut pirang undercut di hadapannya ini. Kadang Renata sering bertanya sebesar apa memori laki-laki ini. Ia bahkan masih bisa mengingat dirinya di antara ingatan minornya saat SMA. Mereka hampir tidak pernah berhubungan sama sekali. Baiklah, mereka memang pernah berbicara, tapi hanya sekali. Itupun tidak cukup berarti hingga laki-laki berkacamata orange nyentrik ini tidak melupakan dirinya yang membosankan ini. Terlebih saat SMA, fisik Renata tidak ada cantik-cantiknya sama sekali. Sudah gendut, cupu lagi. Siapa yang mau mengingat gadis jelek bayang-bayang Joana saat sekolah?

"kalo gue bilang keinget lo terus, bakal dibilang gombal gak nih?" goda Brian mengerling genit.

"gak usah mulai deh Bri..." Brian hanya terkekeh sebagai jawaban. Laki-laki itu lantas menggiring Renata masuk ke dalam. Membawa gadis itu dalam rangkulannya yang nyaman. Tidak banyak penolakan dari Renata. Seolah sudah terlalu biasa dengan tingkah polah Abrian yang terlalu suka-suka seenak jidatnya.

Kedai itu cukup ramai untuk ukuran sebuah kedai yang berkonsep kerakyatan. Terasa bersahabat dengan bangunan joglo kayu yang mengingatkan Renata pada satu angkringan di pusat kota Jogja yang cukup terkenal. Oh jangan lupakan lampu-lampu kuning yang menggantung menerangi seisi tempat ini. Juga live music di sudut ruangan. Bukan live music seperti kafe-kafe besar, tapi lebih ke pertunjukan seniman jalanan yang diberikan panggung untuk diperdengarkan.

Brian tepat berada di belakang Renata. Pria itu membisikkan sesuatu yang membuatnya meremang seketika. Bukan karena bisikan Brian yang mengandung SARA. Laki-laki itu bahkan tidak berbuat apa-apa. Tangannya masih aman tersimpan di saku celana. Yang menjadi tidak nyaman adalah posisi mereka yang kelewat dekat untuk ukuran orang yang bertanya menu apa yang ingin dimakannya. Terlebih feromon playboy Abrian yang cukup memabukkan. Renata tidak suka berada di sini. Posisinya jelas tidak menguntungkan sama sekali.

"itu temen lo bukan sih, Gi?" tanya Brian menunjuk satu tempat duduk di sudut ruangan yang hanya diisi oleh satu orang.

"ha?"

Imperceptible Boundary [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang