Minggu ini double update juga deh. Udah kelanjur sepaket sama part sebelumnya soalnya tuh huhu... Happy reading :D
____
Abrian bergerak-gerak tidak nyaman di antara sepasang tangan yang mengungkungnya. Meletakkan sebuah pita meteran untuk mengukur tubuhnya. Sial, jika saja ia tidak menyetujui permintaan Satria untuk menggantikannya datang, ia tidak harus terjebak di sini.
Sebenarnya ia tidak mempermasalahkan acara pengukuran badannya ini. Toh jika nanti saat hari H setelan Satria tidak muat, itu bukan kesalahannya. Salahkan saja bermangkok-mangkok cabe rawit yang dikonsumsinya hingga membuatnya harus bolak balik ke kamar mandi dan tidak dapat mengukur setelannya sendiri.
Yang menjadi masalah di sini adalah mbak-mbak genit yang menyentuh tubuhnya dengan sengaja. Tidak akan menjadi masalah jika perempuan ini masih bertindak sewajarnya. Tapi elusan ringan di dada dan bahunya sedikit membuatnya risih. Belum lagi saat mengukur lebar bahunya perempuan bergincu merah ini menempelkan dada besarnya ke badan tegap Abrian dengan sengaja. Gila saja, Renata bahkan tidak pernah memperlakukannya sedemikian rupa. Bagaiamana mungkin perempuan asing ini dengan senonohnya melakukan ini kepadanya.
"maaf ya mas..." ujar perempuan itu sedikit mendesah begitu menjijikkan meminta ijin hendak melingkarkan mistar pitanya ke paha Abrian. Gila. Tangan perempuan itu bahkan sudah berhasil mengusap seduktif paha Abrian di tangannya.
"gak usah sampai celana mbak. Lagian bukan gue juga yang bakal make." Ketus Abrian menjauhkan dirinya, segera keluar dari sana.
"kampret ya lo Sat." umpat Brian begitu panggilannya terhubung dengan Satria. "lo ngapain sih pake acara mules pas mau fitting baju segala. Ukuran baju juga gak sama. Sok-sokan lo nyuruh gue gantiin lo segala."
"tulung yan... iki... lagi... anjir... iki gawath... bangeeeettthh..." jawab Satria dengan erangan menjijikkannya.
"fuck it... lagi boker ya lo?"
"lahh... kowee... nelfon kok." Jawab Satria putus-putus masih berjuang mengatasi mulas berlebihan di perutnya yang tak henti mengeluarkan isinya.
"anjing lo. Kelarin dulu itu urusan lo." Ujar Brian kesal mengakhiri panggilannya. Sialan memang yang namanya Satria Panggiat. Bisa-bisanya menyusahkan di saat seperti ini. Brian bahkan tidak bisa menyelesaikan umpatannya karena laki-laki berambut plontos itu tengah berjuang di kamar mandi. Setidaknya jika Satria ingin mengerjainya biarkan Brian memiliki waktu untuk mengumpatinya habis-habisan. Hey dia ini pria mahal.
Abrian hendak beranjak, bersamaan dengan suara tirai di belakang punggungnya yang terbuka. Awalnya ia tidak ada keinginan untuk peduli. Tidak sebelum ia menemukan sosok cantik yang tengah mematung memandanginya juga.
Di depan sana berdiri gadis cantik kesukaannya yang tampak sedikit berbeda tidak seperti biasa. Tidak ada yang istimewa dengan gaun mocha berpotongan sederhana tanpa lengan yang membalut tubuhnya. Tidak juga dengan rambut hitam kecoklatannya yang sudah ditata sedemikian rupa. Abrian bahkan harus sedikit mengerutkan alisnya untuk menyadari gadis itu hampir tidak menggukan apa-apa selain pewarna bibir yang tidak ada menor-menornya. Bahkan mata berkelopak mono itu tetap memukau seperti biasa. Namun ada sesuatu dalam diri gadis itu yang membuat Abrian tidak dapat mengedipkan mata. Harus ia akui Renata tampak luar biasa cantik bak peri dengan dandanan seperti ini.
Tanpa sadar senyuman tipis terukir di wajah Renata. Membuat kecantikan gadis itu berlipat ganda. Pesona Renata sungguh tidak bisa Brian abaikan begitu saja. Ia hanya berharap seseorang tidak mendengar suara jantungnya berdegup kencang saking girangnya melihat pemandangan indah di hadapannya. Tuhan... tolong selamatkan dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperceptible Boundary [COMPLETED]
Fanfiction"Mas Abrian... aku suka kamu." Ujar gadis itu tiba-tiba, tepat di pinggir lapangan sekolah saat tak ada siapapun di sana. Tepat sebelum Brian melanjutkan langkah menuju hall utama untuk pertunjukan bandnya. Gadis itu terlihat sangat biasa, tanpa ro...