23. The Shoulder to Cry

1.6K 276 99
                                    

Lagi, Renata hanya termenung menikmati semilir angin di saat sore sambil menunggu Brian menghampirinya. Laki-laki itu membawanya ke sebuah taman rindang di pinggit kota yang tak jauh dari pusat perbelanjaan dimana mereka bertemu tadi. Awalnya hari ini Renata hanya ingin menikmati hari senggangnya seorang diri dengan melihat pernak-pernik di stationary, sambil membeli beberapa camilan untuk dibawa pulang, namun pesan dari Joana yang berisikan gambar gadis itu bersama kekasihnya dengan tulisan "I'm getting married, cuk" membuatnya tidak bisa tidak memikirkannya.

Sekali lagi, ia bukannya iri atau menginginkan posisi Joana saat ini. Ia hanya sedikit sedih karena teman karibnya akan menjadi lebih dewasa darinya sekarang. Dan ia benci jika harus tertinggal.

"kan ngelamun lagi. Mikirin apa sih Gi." Ujar Brian sambil menempelkan minuman dingin di wajah Renata. Membuat gadis itu sedikit tersentak kaget dan menatap sebal ke arahnya. Mungkin hanya Abrian Thomas Hutagama, satu-satunya laki-lai di dunia ini yang begitu gemar melihatnya marah-marah.

"gak usah sok tahu deh Bri..." Renata masih berusaha menutupi. Ia terlalu malas membahas betapa kekanakannya pikirannya ini.

"soal Joana ya?" tebak Brian santai menyesap minumannya.

"enggak lah..." elak Renata.

Brian lalu mengeluarkan ponselnya. Menunjukkan gambar yang sama dengan gambar yang diterima Renata. Ia tidak pernah tahu Brian masih berhubungan baik dengan mantan kekasihnya. Seharusnya tidak perlu heran juga, mereka masih terlihat sangat akrab saling menggoda bahkan di depan tunangan Joana sekalipun saat itu.

"ini bukan karena diem-diem lo suka sama Moreno kan?" tanya Brian tiba-tiba menunjukkan tatapan tajamnya. Seolah tidak rela jika Renata menunjukkan ketertarikan kepada laki-laki selain dirinya –ya meskipun gadis itu juga tidak pernah menunjukkan ketertarikannya kepada dirinya.

"ya enggak lah. Emang gue cewek apaan yang naksir tunangan temen sendiri." Jawab Renata sebal menyesap minuman yang Brian berikan.

"it's not about something that I should think about." Imbuh Renata meloloskan nafas beratnya. Menatap bayang-bayang matahari yang hampir meninggalkan bumi meskipun ia tidak pernah berlari.

"so... it must be something that is really bothering you."

Renata hanya diam tak memberikan tanggapan.

"mau nyender aja gak Gi? Kayaknya berat banget itu kepala. Nih, mumpung bahu sandarable gue lagi off duty." Ujar Brian meletakkan minumannya dan menggeser tubuhnya mendekati Renata, menawari gadis itu bahunya untuk sandaran sementara.

"Gi..."

Renata tak menjawab. Hanya meloloskan helaan nafasnya sebelum pada akhirnya meletakkan kepalanya. Mencoba mencari posisi terbaik untuk melepaskan beban pikirannya.

"gue Cuma ngerasa udah gagal aja jadi temen yang baik buat Joana sama Nindyta." Ujar Renata akhirnya. "gue tahu harusnya gue ikut seneng lihat Joana yang udah mau nikah, ataupun denger kabar soal beasiswa Nindyta. Tapi gak tahu kenapa rasanya ada lubang tak kasat mata di dada gue, Bri. Waktu lihat temen-temen gue terus bergerak maju sedangkan gue enggak."

Brian diam, memilih mendengarkan. Sambil tetap menatap lurus Renata yang bersandar di bahunya. Ada gurat kesedihan di mata gadis itu yang rasanya ingin ia hilangkan. Ia tidak suka melihat tatapan kosong Renata yang menyiratkan luka.

"seharusnya gue udah cukup bahagia masih bisa hidup berkecukupan sampai saat ini. Gue udah berhasil nyelesaiin sekolah gue seperti impian papa. Gue juga udah dapet kerjaan yang cukup buat gue. Tante Manda, Om Akbar, Bang Kevin sama Jojo udah dikirim Tuhan sebagai keluarga gue yang baru. Tapi rasanya gue masih pengen serakah dengan menyimpan sahabat-sahabat gue Bri. Padahal jelas banget kalo kehidupan terus berjalan dan mereka punya jalan sendiri-sendiri."

Imperceptible Boundary [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang