34. Imperceptible Boundary

2.3K 277 206
                                    

"SMP BBS, kelas 8C. Gue satu kelas sama Davin Anggara, ketua OSIS yang tiba-tiba ngaku jadi pacarnya salah satu kutu buku kelas 8A, Renata Gisella Salim. Yang seminggu setelah kejadian itu pindah sekolah dan dengan konyolnya waktu SMA tetep masuk ke SMA yang sama." Jelas Ajun menyebut almamaternya. Laki-laki itu masih tertawa memegangi perutnya.

Renata tidak benar-benar bisa mengingat sebenarnya, namun semua menjadi lebih jelas kini. Mengapa Ajun terlihat tidak pernah segan atau canggung kepadanya, memanggilnya dengan sebutan Renata yang mana hanya orang-orang yang pernah berhubungan langsung dengannya yang memanggilnya sedemikian rupa, seperti di sekolah ataupun tempat kerja. Tidak seperti Daniel ataupun Satria yang mengikuti Kevin memanggil panggilan rumahnya. Pantas saja laki-laki ini memanggil Abrian sama seperti dirinya dan Joana. Tidak seperti ketiga temannya yang lain.

"Bentar deh Ren, mumpung gue inget ini. Lo kok bisa bego kayak gitu sih? Lo tahu gak kalo lo diomongin anak-anak satu angkatann?"

Renata mengerutkan wajah, sebal dengan Ajun yang membahas kekonyolannya semasa sekolah.

"can we go back to the topic?" sindirnya.

"hahaha... sorry. Gue masih suka ngakak kalo ingat itu." Ajun mencoba meredakan tawanya. Laki-laki itu lantas berdehem membersihan tenggorokannya sebelum kembali bercerita.

"well, dia adalah orang paling realistis yang gue kenal kalo udah ngomongin soal hati dan perempuan. Okay, he might be like a player, mungkin bawaan anak tunggal tanpa saudara perempuan. Ibunya udah meninggal waktu dia SMA, satu-satunya perempuan di sekitarnya cuma omanya. Pantes dia gak ngerasa bersalah sama sekali kalo tanpa sengaja udah bikin baper anak orang, omanya kan gak mungkin dimainin sama laki-laki hidung belang..."

Mau tak mau Renata ikut menarik senyumnya mendengar Ajun bercerita.

"...gue gak nyangka sih, orang yang udah demen sama lo selama ini, tetep ngedepanin logika dan memegang kendali. No offence, anak olimp emang beda sih otaknya."

"dia anak olimp?"

"lo gak tahu? Pialanya dia waktu sekolah kalo diuangin bisa buat beli micin sepabriknya. Kejuaraan dari English Debate Club, KIR, olimpiade matematika, ngeband, basket, bahkan sampe Jambore pun selalu ada nama dia di daftarnya. Makanya gue heran banget waktu pertama kali lo ke studio lo gak ngenalin dia sama sekali. Oh c'mon, he used to be called setiap upacara bendera. Bisa-bisanya lo lupa..."

"okay... bisa kita lanjutin yang tadi aja?" Potong Renata lagi-lagi tidak ingin disalahkan atas ingatannya yang payah. Ajun hanya terkekeh melihat wajah Renata yang memerah.

"dia sesuka itu sama lo tapi dia gak bucin sama sekali. Dia tetep tahu gimana cara memperlakukan lo. Ngasih perhatian sepenuhnya tapi gak serta merta ngebiarn lo jadi orang yang salah. I was kinda surprised lihat kalian berantem bukan karena orang ketiga, justru karena sifat lo yang gak dewasa..."

Renata sudah hampir memotong pernyataan Ajun sebelum laki-laki itu mengangkat tangannya.

"ya... dia cemburu sama lo waktu itu, Ren. Waktu kalian makan bareng dan sialnya ketemu sama Mas-Mas yang nemenin lo ke festival waktu itu. Bang Brian bukannya gak tahu kalo lo naksir dia. Dia udah nekan egonya buat berjuang dapetin lo meskipun lo ngerusak segalanya... dengerin gue dulu Renata." Keukeuh Ajun masih belum ingin disela. Ia tahu gadis bermata sembab di sebelahnya ini jelas memiliki seribu satu alasan untuk membenarkan sikapnya. Namun kali ini biarkan Harjunot Alan Pradipta yang berbicara.

"like I said before, I adore him yang masih waras meskipun dia sesuka itu sama lo. He has his own way to mark his area. To tell that guy that you're not available anymore. Agak picik sih, tapi gue suka gayanya. Dia ngajak lo satu meja sama temen kantor lo jelas dengan sengaja. Dia pengen nunjukin kalo lo sama cowok itu udah gak bakal bisa sama-sama. Sadly, your statement really hurts him, Ren."

Imperceptible Boundary [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang