Sorry for being absence last week. Hope you still right here enjoying the last 2 chapters of Imperceptible Boundary :')
HAPPY READING!
____
Renata terbangun dengan mata sembab di sekeliling kelopaknya. Hasil dari menangis hebat semalaman, dan tidur seadanya. Padahal pada sorenya gadis itu harus tampil prima mendampingi Joana menyusuri aisle, mengantarkan gadis itu untuk menukarkan statusnya. Tapi apa yang terjadi dengan wajah sayu yang terpantul di depannya itu? Orang-orang pasti akan berfikir bahwa ia adalah mempelai yang ditinggal pergi pengantinnya tepat sebelum pemberkatan tiba.
"ckckc... sumpah ya cuk. Emang sih gue nyuruh lo jangan sampai kelewat cantik sampe-sampe bisa over shadowing gue. Tapi ya gak jadi kayak janda muda yang ditinggal mati lakinya." Ujar Joana ngawur seperti biasa. Gadis itu sampai menggeleng-gelengkan kepala memperhatikan temannya yang tengah dilanda penyakit cinta.
Jika biasanya pengantin perempuan akan mendapat kunjungan dari para tamu yang datang, gadis ajaib ini justru sebaliknya. Sengaja keluyuran hanya untuk memastikan keadaan sahabatnya yang ia dengar sedikit mengenaskan. And the fact doesn't say so. She doesn't look 'a little', but officially definitely miserably pathetic.
"kalo gini caranya lo kapan jadi taken sih, nyet." Kesal Joana menarik wajah Renata yang sedari tadi hanya menatap kosong cermin besar di kamarnya. Dengan sebal gadis itu memoleskan bedak untuk menutupi rona duka di seluruh wajah temannya.
"gue tuh udah baik nyuruh lo sama Nindy buat jadi maid gue, biar kalian buruan nyusul, dapet laki yang bener, bukannya malah makin pathetic kayak gini. Benci banget ya lo sama gue sampe-sampe mau ngacauin pernikahan gue." Ujar Joana asal terlampau sebal. Semua orang tahu apa yang dikatakan gadis ini tidaklah benar. Hanya orang buta yang tidak tahu sesayang apa gadis bar-bar ini kepada sahabatnya.
"udah dong nyet. Jangan kayak gini. Kalo lo mau dapetin Abrian lo tuh harus jadi classy." Renata buru-buru memalingkan wajah menatap protes Joana.
"gue gak lagi ngegalauin Abrian." Sungutnya.
"hmmm... ya... ya... dikatakan oleh seseorang yang nangis semaleman sehabis di anterin si brengsek itu pulang. Iya kan?"
Shit. Renata lupa ia sedang berhadapan dengan Joana. Seorang psycho yang mungkin saja diam-diam memasang sejenis chip di tubuhnya sehingga selalu tahu apapun yang dilakukannya.
"hei... listen to me. Kalo lo emang sesuka itu sama dia, apa pernah lo kasih dia perhatian? Apa pernah lo tanya siapa dia sebenernya? Kenapa dia masih inget lo di hari pertama kali kalian ketemu lagi? Apa pernah sekali aja lo lihat apapun yang dia lakukan itu sebagai suatu keseriusan? He always shows his affection but you never give him attention.
"Lo pikir dunia ini cuma tentang Renata? No, Re. Lo juga harus mau masuk ke dunia dia dan ngasih sayang yang sama besarnya sama apa yang udah dia kasih. Paham?" jelas Joana panjang lebar.
Gadis itu lalu meletakkan puff bedak yang ia gunakan untuk menyapu wajah Renata yang diam membatu. Meninggalkan gadis itu saat seorang staff memberinya tahu untuk bersiap sebelum memasuki altar untuk pemberkatan.
_____
Daratan yang menjorok ke pantai itu terlihat begitu indah dengan pernak-pernik yang menghiasi tempat pernikahan Joana. Didominasi dengan warna putih dan emas yang membuat dekorasinya terlihat sederhana namun mewah di waktu yang sama. Kursi-kursi tamu undangan itu berwarna putih dan tertata rapi, menghadap stase utama yang akan digunakan mempelai untuk mengikat janji suci. Di depan sana terbentang karpet berwarna putih keemasan yang dikelilingi beberapa hiasan bunga di atas tiang setinggi pinggang orang dewasa, serta kolam buatan dengan lilin-lilin kecil yang mengapung di atasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperceptible Boundary [COMPLETED]
Fanfiction"Mas Abrian... aku suka kamu." Ujar gadis itu tiba-tiba, tepat di pinggir lapangan sekolah saat tak ada siapapun di sana. Tepat sebelum Brian melanjutkan langkah menuju hall utama untuk pertunjukan bandnya. Gadis itu terlihat sangat biasa, tanpa ro...