Selamat membaca...!
Artea menatap pantulan dirinya dalam cermin, cukup lama sebelum akhirnya menghela napas lelah. Tidak ada yang menarik memang dalam diri Artea, ia cukup tahu mengenai itu. Tapi, bisa tidak sekali saja, Artea ingin di dekat orang yang tidak terlalu peduli akan penampilannya.
Tidak mempermasalahkan bentuk dirinya. Ada sih, Ule dan Mera, tapi Artea juga muak dengan gombalan receh yang selalu cowok itu lontarkan padanya. Jadi, Artea rasa ia hanya punya satu sepanjang hidupnya, hanya Mera.
Artea tersentak ketika pintu ruang ganti tiba-tiba terbuka. Ini hari Jumat, tidak ada jadwal olahraga sehingga tidak akan ada yang masuk kesini ketika jam pelajaran berlangsung, bukan?
Artea mengernyit tidak suka saat mengetahui bahwa Baga yang membuka pintu dan melangkah masuk tanpa izinnya.
“Ngapain kesini? Anak baru tuh harusnya di kelas.”
“Lo kenapa disini?”
“Suka-suka, dong.”
Baga bersandar pada loker, memasukkan tangan ke saku celana. “Sama,” jawabnya santai.
Artea terpekur, menatap Baga beberapa saat lalu mendengus.
“Ini tempat lo?” tanya Baga memecah hening.
“Maksudnya?”
“Sembunyi setelah di bully kayak tadi.”
Artea terdiam, memalingkan wajahnya dari tatapan menyelidik Baga.
“Gue harus panggil lo dengan sebutan apa sekarang?” Baga mengangkat alisnya, “Artea atau...” ia sengaja menggantung kalimatnya. Sebab Artea sudah memutar bola mata dan berdecak.
“Miss Complicated?” Baga masih menatap Artea yang mulai terlihat kesal.
“Mau lo apa sih? Kalau lo masih nggak terima kepala lo kebentur bola kasti gue, gue akan tanggung jawab kok,” ujar Artea.
“Kalau ini adalah persembunyian lo, boleh ajak gue lainkali?” Satu hal yang Artea catat tentang Baga, cowok ini suka sekali menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
“Kenapa gue harus ajak lo?” Dan Artea mengikutinya.
Baga tersenyum kecil, menarik posisinya menjadi tegak menjulang di depan Artea. “Ganti rugi. Anggap itu sebagai ganti rugi lo sama gue.”
.
.
.Filzan Rabaga, lahir di Jakarta, seseorang yang terlahir di tengah keluarga konglomerat dan campuran. Dengan seorang ibu pribumi dan seorang ayah berdarah Australia. Ibu yang terlalu lembut sekaligus rapuh serta Ayah yang keras juga sedingin kutub bumi. Jikalau Baga dapat memilih, setidaknya bernegoisasi dengan sang Pencipta, ia akan menolaknya lalu mengajukan kriteria Ayah yang ia inginkan.
Jika saja. Andai. Jujur, Baga membenci otaknya mengulang-ulang kalimat itu setiap kali menatap sang Ayah. Baga benci karena Ibunya terlalu mencintai prianya, menjadikan wanita itu semakin rapuh. Dan Baga mati-matian menjaganya agar tetap bertahan, atau justru sebaliknya.
“Aden,” Baga tersentak dari lamunannya, “maaf Mba langsung masuk, tadi sudah ketuk pintu tapi Aden diam saja. Jadi, Mba masuk saja langsung,” jelas Mba Arum seraya menaruh nampan berisi segelas susu, roti gandum selai coklat dan sebotol pil. “Ibu nyuruh anterin ini ke kamar Aden, pesan Ibu; tolong dihabiskan,” katanya lagi.
Baga tersenyum kecil, mengangguk. “Terimakasih, Mba.” Lalu, Mba Arum meninggalkan kamarnya. Menciptakan hening, lagi.
Baga kembali memandang jalanan komplek dari balkon kamar, tidak ada hal yang menarik perhatiannya hingga—entah bagaimana manik matanya menemukan sesuatu. Baga harus menyebutnya apa? Takdir atau kebetulan?
Penglihatannya masih baik jadi tidak mungkin Baga salah mengenali gadis bersepeda di bawah sana, yang sedang berbincang ringan dengan Papa dan sesekali tersenyum. Gadis bernama Artea itu terlihat akrab dengan Papa, membuat Baga ingin tahu hubungan bagaimana yang terbentuk diantara mereka berdua.
.
.
.Artea baru saja memarkir sepeda gunung kesayangannya di garasi ketika tiba-tiba Bang Medi sudah berdiri dibelakangnya, mengejutkan Artea.
“Lo anak setan atau orang sih, Bang?” tanya Artea jengkel. “Bersih banget nggak ada suara, tiba-tiba muncul di belakang. Terbang lo?”
Bang Medi diam, tidak seperti biasa. Membuat Artea menatap sedikit prihatin bercampur heran juga. “Lo sakit, Bang?” tanya Artea lagi.
“Ndut, lo jahat banget sih jadi orang,” katanya.
Apa lagi sih? Artea tidak mengerti kenapa Bang Medi bicara seperti itu. Jahat? Memangnya Artea menusuk-nusuk tubuhnya hingga berdarah begitu, ya, walaupun rasanya Artea ingin sekali melakukannya setiap kali Bang Medi meledeknya.
“Kalau aja nih sepeda bisa merengek, gue yakin dia udah nangis kejer sekarang. Berat! Tolong! Beban ini terlalu berat bagiku, aduh! Toloongg!” Bang Medi menyengir sementara Artea melongo mencerna ucapannya. “Dan kalau aja dia bisa napas, saat ini dia butuh oksigen 2-3 tabung untuk bantu bernapas. Lo nggak kasihan, ndut?”
Lalu dengan tampang tanpa dosanya itu, Bang Medi cengengesan tanpa sadar sudah membangunkan anak setan dalam tubuh Artea.
“ABANG LAKNAD!!! SINI NGGAK LO!!”
Bang Medi berlari masuk ke dalam rumah bersama tawa kerasnya. Bahagia sekali setelah meledek Artea, sedangkan Artea kesal sendiri karena terlalu percaya kepada Bang Medi. Seharusnya dari awal Artea sumpal saja mulut itu dengan handuk kecil bekas keringat di tangannya ini.
Artea gemas sendiri, menyebalkan. Oke, Artea menarik napas panjang lalu melepasnya perlahan. Artea memejamkan mata sambil merapal; sabar Artea, lo harus sabar. Jangan gegabah dan buat diri lo capek.
Setelah berhasil menenangkan pikiran sekaligus meredam amukannya, Artea membuka mata. Motor kesayangan Bang Medi menjadi benda pertama yang ia lihat. Lalu spidol permanen milik Papa yang berada di kotak perkakas menjadi yang kedua. Kemudian otaknya memutar jalan cerita sendiri.
“Karena tadi lo bilang gue jahat banget, Bang, jadi sekalian aja. Iya, 'kan?”
•
•
•
•
•
•Holaaaa!! Maaf telat lagi ya:) soalnya kerjaanku hetic bingoooo! Semoga suka dengan part delapan ini ya:)
Terimakasih yang sudah mampir di lapakku. Apalagi sampai komentar dan kasih bintang. Actually, aku bahagia melihat hal itu:)
Fyi :
Cerita ini bukan hasil plagiasi atau hal lainnya. Cerita ini adalah hasil kolaborasi bersama van_latte dan akan kami publish di akun masing-masing secara bergantian.Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca ♥♥♥
Salam niarrica
KAMU SEDANG MEMBACA
LO(W) FAT {COMPLETE}
Teen FictionJika rasa parno orang-orang akan bersangkut paut akan hal horor dan mengerikan, maka gadis itu terkecuali. Jika kelemahan orang-orang bersangkut paut dengan rasa tidak suka terhadap sesuatu yang ia angggap kelemahan, maka gadis itu tidak termasuk...