Lo(w) Fat | Duabelas

514 60 0
                                    

HAPPY IED MUBARAK 🙏 maka dari itu tolong maafkan kemarin telat update dikarenakan author ini terlena bermain game 🙏🙏🙏

Oke,  langsung aja baca kelanjutannya di bawah ini.

Jangan lupa tinggalkan jejak
Don't be siders ! 😉

Terimakasih, sekali lagi mohon maaf lahir batin semuanyaaaaa🙏😘

.
.
.
.
.

Karena cuaca siang hari begitu terik hari ini serta lapangan juga tengah digunakan oleh ekstrakurikuler Paskibra dan Pramuka yang tiga bulan lagi akan mengikuti lomba, maka Pak Herman meminta para calon pelari estafet berlatih didalam lapangan indoor walaupun tidak mudah meminta izin pakai dari Bu Desi selaku pembina ekstrakurikuler Marching Band dan Bu Ratna selaku pembina ekstrakurikuler Sanggar Seni.

Dua wanita paruh baya itu bahkan sampai menemui Kepala Sekolah untuk berdebat masalah lapangan indoor yang ingin dipinjam oleh Pak Herman untuk melatih lari estafet. Dengan kata lain, mereka mengklaim bahwa lapangan indoor adalah milik ekstrakurikuler Marching Band dan Sanggar Seni yang boleh digunakan secara umum jikalau Kepala Sekolah yang memberi perintah, namun sejak mereka keluar bersama Pak Herman dari ruang Kepala Sekolah tadi wajahnya sangat tidak bersahabat ketika Artea dan teman-teman yang lain menyapa di koridor.

“Tera,” panggilan Artea membuat gadis itu menoleh. “gue boleh titip ponsel gue sama lo nggak? Gue mau ke toilet,” ujar Artea mengangsurkan ponselnya ke arah Tera.

Tera mengangguk, tetapi gerakannya kalah cepat dari tangan besar yang menyambar ponsel Artea. Baga berdiri diantara mereka berdua, menggenggam ponsel Artea ditangan kiri sementara tangan lain menggenggam botol air mineral dingin. “Lo boleh latihan duluan. Silakan, Pak Herman udah nunggu tuh,” kata Baga lagi ketika Tera menatapnya bingung.

“Oke, gue duluan, Ar. Bye!” sahutnya lalu berlari ke tengah lapangan, bergabung bersama yang lain.

Baga menatap Artea yang kini mendelik tidak suka padanya. “Kenapa sih lo selalu ngikutin gue tiap hari?!”

“Lo merasa gue ikutin tiap hari?” tanya Baga.

Artea berdecak kesal.

“Terserah deh! Sini ponsel gue!” Artea menadahkan tangannya. “Gue nggak mau titipin barang gue ke lo,” jelasnya.

“Apa yang udah gue pegang, nggak akan mudah gue lepas,” Baga mengantongi ponsel Artea, “kecuali kalau gue putusin untuk melepasnya,” lanjut Baga sebelum berlari menuju tengah lapangan.

“Hei! Newbie gila!” Artea berdecak, lagi.

Filzan Rabaga, cowok gila itu benar-benar membuat Artea kesal setiap waktu.

.
.
.

Artea melepas sepatu, tas punggung serta jaketnya begitu sampai rumah dan duduk dikursi teras. Seleksi yang dilanjutkan menjadi latihan itu membuat badan Artea hampir remuk. Artea suka berlari, tapi ia tidak pernah menggeber tenaganya sebegitu dalam seperti ini. Artea menghela napas lelah seraya bersandar lebih dalam pada sandaran kursi.

“Ndut, ngapain lo?” Bang Medi datang sembari membawa plastik hitam besar serta secangkir kopi yang ia taruh di atas meja teras. “Jangan diminum! Gue mau buang sampah dulu,” pesannya pada Artea yang disambut gumaman.

Bang Medi, nama aslinya Muhammad Candra Renaldi, kakak laki-laki yang terpaut hanya dua tahun dengan Artea. Sebenarnya Bang Medi adalah seorang kakak yang diam-diam peduli kepada Artea, hanya saja pria itu tidak ingin mengakui secara terang-terangan. Artea menyeringai ketika melihat Bang Medi kembali dan duduk pada kursi disebelahnya yang hanya berjarak meja kecil. Bang Medi menyeruput kopi susu buatannya lalu memuji diri sendiri karena rasa kopinya begitu enak, katanya.

LO(W) FAT {COMPLETE}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang