Udah siap belum sama Last partnya?
Ayo di vote sama ramaikan kolom comment-nya. Hehe 😄😂
Happy Reading 🔥
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Artea hanya duduk manis sembari mencengkeram kaus olahraga Baga di atas motor yang tengah Baga lajukan. Artea tidak mengerti mengapa Baga tiba-tiba menarik lengannya dengan tergesa, membawanya meninggalkan gedung sekolah tanpa banyak bicara. Artea tidak berani memulai percakapan, terlalu canggung, sebab hubungan mereka tidak sedekat sebelumnya. Ya, sebelumnya Artea pikir ia bisa berkata apa saja, melakukan protes kepada cowok itu jika Artea merasa tidak nyaman, begitupun sebaliknya. Tetapi kini tidak lagi, rasa canggung itu justru membuat Artea menciut, takut membuat kesalahan lebih dalam.
Motor Baga berhenti di sebuah taman berbukit, memarkir sembarang pada tempat teduh hasil naungan pohon akasia yang rindang. Mengajak Artea sedikit menaiki bukit kecil itu agar dapat duduk dibawah pohon tersebut. Yang ternyata memiliki pemandangan danau buatan cantik dibaliknya. Menghadirkan suasana hangat serta silau dari sinar matahari pagi yang mulai naik lebih tinggi yang menyorot kearah mereka berdua.
“Ngapain kesini, sih, Ga? Panas, kan. Lagipula kita harus latihan terakhir sebelum lomba besok.” Artea tidak mengerti mengapa Baga mengajaknya ke tempat seperti ini, mengesampingkan hal penting lainnya.
“Duduk dulu sini.” Baga sudah duduk di bawah naungan pohon akasia, menepuk tempat kosong disampingnya agar Artea bergabung. “Ada banyak waktu sebelum latihan dimulai. Dan kita akan sampai tepat waktu, lo tenang aja,” ujarnya menenangkan Artea.
Artea nurut saja dengan ucapan cowok itu. Dia merasa kini hubungannya dengan Baga mulai membaik. Mungkin dengan seperti ini Artea bisa memperbaiki lebih baik atau sama seperti sebelumnya.
“Maaf,” ujar Baga saat Artea sudah bergabung didekatnya.
Artea menatap Baga heran, merasa Baga tidak melakukan kesalahan apapun kepadanya. Malah sebaliknya, patutnya Artea yang meminta maaf.
“Maaf untuk segalanya. Sejak awal kita kenal, gangguin lo, hancurin waktu yang lo susun untuk bisa dekat sama Arkan. Gue minta maaf,” jelas Baga tanpa berani melihat Artea. Manik mata Baga masih lurus ke depan, memandang danau buatan dengan bunga teratai yang menghiasi. Tatapan rapuh ... juga menerawang.
“Ga,” panggilan Artea membuat cowok itu menoleh. “Lo ... nggak bakalan mati besok, kan?”
Baga mengerjap-ngerjap, mengernyit, membuka setengah mulutnya. Kehabisan kata-kata untuk membalas. Baru tahu kalau Artea mudah sekali menghancurkan suasana seserius ini. Akhirnya, Baga hanya tertawa renyah, mentertawakan tingkah menjijikannya barusan yang seolah-olah memang umurnya sudah mepet banget.
“Kok bisa sih, lo nyimpulin kayak gitu? Gue kelihatan udah kehabisan umur atau gimana?”
“Ucapan lo tadi seakan mengisyaratkan kalau besok lo mati. Kan, biasanya orang udah dekat ajal pasti kasih wejangan-wejangan, minta maaf, lah. Ya ... segala macam kayak lo barusan.” Artea mengangkat bahu, sementara Baga semakin tidak percaya akan celoteh cewek itu.
“Kolot banget lo, dan gue baru tahu,” gumam Baga seraya menggelengkan kepala, yang selanjutnya mendapat toyoran dari Artea.
Tawa renyah Artea dan Baga mengisi kekosongan, meruntuhkan tembok canggung tipis yang terbangun selama dua minggu kebelakang di antara mereka berdua. Lalu, Artea menginterupsi, membuat mereka berhenti tanpa menghilangkan sisa-sisa tawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
LO(W) FAT {COMPLETE}
Ficção AdolescenteJika rasa parno orang-orang akan bersangkut paut akan hal horor dan mengerikan, maka gadis itu terkecuali. Jika kelemahan orang-orang bersangkut paut dengan rasa tidak suka terhadap sesuatu yang ia angggap kelemahan, maka gadis itu tidak termasuk...