Ketenangannya yang terlatih
berhasil membungkus rasa
gelisah, cemas, dan takutnya
dengan baik. Teramat baik.
—Esti Kinansih—ღωღ
"hai wooyoung!"
wooyoung yang sedang menggambar sesuatu itu menoleh ke arah pintu, mendapati sahabatnya tengah berdiri sambil tersenyum dan membawa sebuah makanan di tangannya.
wooyoung menaruh buku gambarnya di nakas dekat kasurnya. saat tengah memerhatikan chaeyoung, ia menyadari ada sesuatu yang berbeda di jemari tangannya.
"tumben make cincin, chae?"
chaeyoung langsung menoleh ke arah jemari tangannya. "cepet banget sih nyadarnya." ucap chaeyoung sambil mengerucutkan bibirnya.
wooyoung terkekeh gemas dengan sahabat karibnya itu.
"dari siapa? san?"
chaeyoung menggembungkan kedua pipinya, kesal karena wooyoung selalu saja menebak dengan pas. "kamu tuh peramal atau apa sih?" sahut chaeyoung sambil berkacak pinggang.
"dukun."
chaeyoung memutar bola matanya malas dan mulai menyiapkan sarapan untuk wooyoung.
"ada perkembangan woo?" tanya chaeyoung, basa-basi walau ia sudah tahu jawabannya.
wooyoung yang sedang mengambil buku gambarnya lagi itu menoleh sebentar, lalu lanjut membuat karyanya itu.
"ada nggak ada tetep sama aja kan? akhirnya aku pasti bakalan mati. lagian aku sekarang udah berada di stadium akhir, tinggal nunggu waktunya aja."
pergerakan chaeyoung terhenti karena ucapan wooyoung. chaeyoung membenarkan dalam hati, dan hal itu membuat chaeyoung membenci dirinya sendiri yang selalu saja percaya dengan tiap penjelasan logis dan masuk akal.
ya, mau ada perkembangan atau tidak, itu tidak akan berpengaruh karena wooyoung sudah memasuki stadium akhir. yang artinya cepat atau lambat chaeyoung akan kehilangan wooyoung—
—juga san.
ah, chaeyoung benci memikirkannya.
menyadari atmosfer ruangan tersebut tiba-tiba menjadi dingin, wooyoung langsung mengeluarkan lelucon yang tentunya tidak di gubris oleh chaeyoung.
karena tidak di gubris, akhirnya wooyoung memilih menyibukkan dirinya dengan gambarannya yang belum selesai.
chaeyoung berjalan mendekat ke ranjang wooyoung dengan semangkuk bubur di tangannya.
"buka mulutnya."
"nanti chae, ntar kena gambarannya."
chaeyoung mendecak. "nanti dulu gambarnya, sekarang kamu makan dulu."
wooyoung bersikukuh meneruskan gambarannya. selalu begitu, tak ada yang mau mengalah karena keduanya sama-sama keras kepala. kalau pun ada pasti chaeyoung yang akan mengalah.
"makan dulu woo, gambarannya bisa dilanjut nanti."
wooyoung menggeleng keras dan membuat chaeyoung menghela napas kasar. satu-satunya cara yang terpikirkan oleh chaeyoung adalah berpura-pura marah. hal ini selalu ia lakukan dan cara itu selalu ampuh membuat wooyoung menjadi anak yang penurut.
"ck." chaeyoung menaruh mangkuk bubur tersebut di atas meja kecil disamping ranjang wooyoung lalu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju jendela, membelakangi wooyoung.
wooyoung langsung menghentikkan aktivitasnya. ia langsung melihat ke arah chaeyoung yang sedang memandangi kota lewat jendela rumah sakit. wooyoung bisa melihat wajah chaeyoung lewat pantulan kaca, dan ekspresi chaeyoung benar-benar terlihat marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, San [✔]
Fanfiction[SELESAI] san, seorang pemuda yang telah berhasil 'menyelamatkan' hidup chaeyoung. ©moonchaey, 2020