14

11.7K 1.1K 87
                                    

"Ai, Sayang. Sini deket Mas." Panggil Tama setelah menidurkan Vano dan Vano di geser tidurnya ke dekat kepala tempat tidur supaya masih terasa lapang untuk ditiduri mereka bertiga.

Karena masih gengsi, Aileen memasang wajah cemberut dan tidak mau menjawab. Dia sedang duduk di sofa sambil membaca majalah.

"Aduuhh...istriku yang cantik ini masih merajuk ya?" Tama pun mendekati Aileen dan langsung membopongnya.

Tentu saja Aileen kaget dan menjerit.

"Sssttt...jangan ribut. Nanti bukan Vano aja yang bangun, tapi semua orang di dalam rumah inipun bangun."

"Apaan sih, Mas. Turunin. Aku masih kesal sama Mas." Desis Aileen dengan suara tertahan agar tidak membangunkan orang rumah.

"Mau sampai kapan kamu kesalnya." Tama duduk di tepi tempat tidur sambil memangku Aileen. "Mas udah mengalah, dan Mas akan mencoba untuk lebih meluangkan waktu untuk kalian. Kasih Mas kesempatan untuk membenahi keadaan, hmmm?"

"Mas suka bohongi Ai. Gimana Ai mau percaya sama Mas."

Aileen berfikir mungkin memang dia harus memberi kesempatan kepada pernikahan mereka. Apalagi kelihatannya Vano mulai dekat dengan papanya. Jika mereka berpisah, Vano akan kehilangan sosok ayah.

"Apa jaminan Mas akan lebih mendahulukan kepentingan kami daripada mereka?" Tanya Aileen.

"Baiklah. Kau boleh pergi kalau Mas mengingkari janji Mas."

Anehnya Aileen malah merasa sakit hatinya mendengar pilihan yang Tama berikan. Dia justru lebih senang dengan sikap posesif suaminya. Apa jangan-jangan Mas Tama nanti bakalan lega kalau mereka berpisah? Kenapa gampang sekali dia mau meluluskan permintaanku untuk berpisah?

Aileen yang menantang, Aileen juga yang jadi bimbang dengan ucapannya sendiri untuk berpisah. Dalam hati Aileen masih sangat mencintai suaminya, walau sering sekali dia dikecewakan. Tapi dia juga gengsi kalau menarik lagi kata-katanya.

"Baiklah, pegang janji Mas."

"Kau tidak akan punya kesempatan untuk minta berpisah, Sayang." Tama langsung melumat bibir mungil istrinya setelah mengucapkan itu.

Aileen pun bahagia dengan janji suaminya. Dia berdoa mudah-mudahan kali ini suaminya benar-benar menepati janji. Terserah deh kalau dibilang dia bodoh, karena selalu memberi kesempatan kepada suaminya. Mungkin memang dia bodoh, bodoh karena cinta.

***

Saat mereka tiba di rumah mereka di Jakarta, mereka dikejutkan dengan adanya Naura dan Celia di rumah mereka.

"Papa....." Naura langsung berlari dan memeluk Tama.

"Hei, ada apa anak gadis Papa?" Tanya Tama sambil membalas pelukan anaknya.

"Pa, Naura kangen. Papa kok gak bilang kalau lagi pergi sama Tante itu."

"Naura, Tante yang kau maksud itu punya nama. Kamu harus sopan."

"Ih, Papa. Jawab aja kenapa pertanyaan Naura." Ucap Naura dengan nada manja.

"Ada apa ke sini? Tumben datang ke rumah Papa." Tanya Tama ke putrinya kemudian menatap Celia yang sedang duduk di sofa dan terlihat acuh.

Sementara Aileen merasa dongkol karena dianggap angin oleh ketiga orang di depannya. Helooowww...dia nyonya rumah ini, dan mereka mengabaikannya.

"Tama, aku titip Naura ya di sini. Aku mau traveling dengan teman-temanku. Gak lama kok, cuma semingg aja." Ucap Celia sambil berdiri dan berjalan mendekati Tama dan Naura.

"Oh, gak masalah. Aku malah senang Naura di sini." Jawab Tama.

Tentu saja Aileen makin mendidih melihat pengabaian ketiga orang itu. Terutama kepada suaminya yang tidak meminta izinnya dulu.

"Baiklah. Aku pulang ya, mau siap-siap." Celia mencium pipi Naura yang masih melendot ke Tama. Kemudian menepuk pipi Tama pelan sambil tersenyum kemudian pergi begitu saja tanpa permisi kepada Aileen, sang nyonya rumah.

Aileen terpaksa hanya mengurut dada melihat manusia-manusia tidak peka dan tak beretika yang dilihatnya hari ini. Karena kesal dan dongkol luar biasa, Aileen memilih meninggalkan ayah dan anak yang masih mengobrol itu. Aileen berjalan ke kamarnya. Tapi sebelum dia membuka pintu kamarnya, Tama memanggilnya.

"Ai, kamu gak tunjukkan kamar untuk Naura?"

"Biikkk...."

Seorang pelayan datang tergopoh-gopoh mendekati Aileen. "Ya, Bu."

"Antar dia ke kamar tamu." Ucap Aileen tak kalah acuh dari sikap acuh yang diterimanya tadi. Kemudian Aileen masuk ke kamarnya tanpa menoleh ke belakang.

"Pa, kayaknya Tante gak suka Naura di sini. Naura takut, Pa." Ucap Naura dengan ekspresi ketakutan yang sebenarnya dibuat-buat supaya papanya khawatir kemudian memarahi ibu tirinya.

Wajah Tama langsung mengeras demi mendengar ucapan putrinya, apalagi wajah putrinya memperlihatkan ketakutan.

"Kamu sama Bibik ya. Biar Bibik ngantar ke kamar kamu."

"Iya, Pa. Gak apa-apa."

Tama berjalan ke kamar dengan wajah marah, dan Naura tersenyum licik.

BLAAMMMM

Aileen terkejut bukan main mendengar pintu dibanting. Syukurlah Vano tidak terbangun, mungkin karena kelelahan hingga tidurnya sangat nyenyak.

Aileen menatap Tama yang wajahnya seperti singa mengamuk. Tapi dia tidak takut sama sekali. Tatapannyapun menantang Tama.

"Ai, kenapa kau perlakukan anakku seperti itu!"

"Memangnya seperti apa aku perlakukan?" Jawab Aileen tenang. Padahal hatinya sudah bergejolak dengan amarah.

"Kau mengabaikannya! Harusnya kau sebagai nyonya rumah ini mengantarkannya langsung ke kamarnya. Dia sampai ketakutan karena perlakuanmu itu."

"Oh, rupanya masih ingat kalau ada nyonya rumah di rumah ini."

"Apa maksudmu?"

"Perasaan tadi aku di acuhkan dan tidak dianggap sebagai nyonya rumah. Memangnya tadi ada yang menyapaku? Atau meminta persetujuanku sebagai nyonya rumah? Bahkan Celia tidak permisi padaku saat dia pergi tadi."

Tama terdiam, tidak bisa mengatakan apapun, karena apa yang dikatakan Aileen benar adanya. Dia tadi langsung memutuskan sendiri tanpa bertanya kepada istrinya. Tapi dia kan gak mungkin menolak anaknya yang mau tinggal di sini kan? Itu tidak mungkin.

13062020

PERNIKAHAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang