20

14.5K 1.4K 126
                                    

Rosi mengesah, turut prihatin dengan apa yang terjadi pada sahabatnya.

"Sudahlah, Ai. Kamu yang sabar. Nanti kita cari pengacara bagus supaya hak asuh Vano jatuh ke tanganmu." Ucap Rosi menyemangati sambil mengusap kepala Aileen yang sedang berbaring telungkup sambil menangis.

Akhirnya Aileen membalikkan badannya, menatap wajah sahabatnya dengan mata buram akibat air mata yang terus berderai.

"Tapi aku takut, Ros." Ucap Aileen disela-sela isak tangisnya. "Kau tahu kan, Mas Tama punya banyak uang. Aku takut kalah. Gimana kalau aku kalah dan aku gak bisa ketemu Vano lagi...hiks..hiks..."

Memang benar juga yang dikatakan Aileen, pikir Rosi. Tapi dia tidak akan menjatuhkan semangat sahabatnya. "Kita tidak boleh menyerah, Ai. Sudahlah. Kamu istirahat aja dulu. Jangan nangis terus. Nanti kamu malah sakit. Sejak sampai rumahku tadi kamu bahkan belum makan apa-apa kan? Ayo makan, ini aku masak tauco udang kesukaan kamu." Rosi menyodorkan piring berisi nasi dengan lauk tauco udang kepada Aileen.

"Makasih, Ros. Aku selalu ngerepotin kamu." Aileen duduk dan menerima piring dari Rosi.

"Gak papa. Toh aku gak punya siapa-siapa juga untuk direpotin." Rosi terkekeh. "Aku keluar dulu ya. Lagi banyak pesanan jadi harus kerja keras."

"Iya, Ros. Sukses ya."

Rosi keluar kamar dan menutup pintu kamar yang Aileen gunakan.

***

Aileen sudah memasukkan gugatan cerainya ke pengadilan melalui pengacaranya.

Dan setelah seminggu dia cuti kerja, mau tak mau Aileen harus kembali bekerja lagi di perusahaan calon mantan suaminya.

Tentu saja hatinya gundah gulana membayangkan harus kembali bertemu calon mantan suaminya itu. Entah bagaimana sikap Tama jika melihatnya lagi. Aileen tidak berani membayangkannya. Tapi dia sangat merindukan putranya, Aileen sangat ingin bertemu putranya itu. Ingin memeluk dan menciumnya sampai terasa sakit tubuhnya karena kerinduan yang sangat dalam terhadap putranya. Namun dia hanya bisa berdoa agar dia bisa segera bertemu dengan putranya dan bisa memenangkan hak asuhnya.

Rani turun dari bus, kemudian merapikan baju kerjanya sebelum berjalan menuju ke kantornya. Hari ini dia memakai stelan berwana mocca, yang semakin memancarkan kulit putihnya.

Aileen langsung menuju ruangan Dwi. Aileen mengetuk pintu dan terdengar suara mempersilahkan dia masuk. Aileen pun masuk ke ruangan dan melihat Dwi yang sedang sarapan di mejanya.

"Hai, Kakak Ipar. Udah sarapan?"

Aileen duduk di depan Dwi dengan berbatas meja kerjanya. "Udah. Lanjut aja, Dwi." Ucap Aileen. "Dwi, aku mulai masuk kerja hari ini ya?"

Dwi menyelesaikan makanannya dan minum, kemudian berkata, "Kau yakin mau masuk hari ini?"

"Iyalah. Aku masih butuh pekerjaan."

"Sebenarnya, apa yang terjadi antara kamu dan Mas Tama, Ai?" Tanya Dwi. "Kamu tahu gak kalau seminggu ini Bang Tama kerjanya marah-marah melulu."

Aileen mengedikkan bahu, dia tidak mau tahu apa yang dilakukan Tama setelah dia meninggalkannya.

"Kamu serius mau ninggalin Mas Tama?"

Aileen mengangguk mantab. "Aku bahkan sudah melayangkan gugatan cerai."

"APA?" Dwi sampai berdiri dengan mata melotot menatap Aileen seolah-olah Aileen adalah makhluk mengerikan. Tapi tiba-tiba Dwi tertawa sekeras-kerasnya dengan wajah mendongak.

Aileen memandang heran adik iparnya. Kesambet apa ya si Dwi kok tiba-tiba tertawa kayak orang gila gini.

Dwi menatap Aileen takjub setelah berhenti tertawa. "Aku gak percaya kau akhirnya mau bercerai, Ai. Dan itu menjelaskan segalanya kenapa Mas Tama uring-uringan...hahahha."

Tiba-tiba pintu dibuka dengan kasar hingga terbanting ke dinding. Dan muncullah wajah Tama yang seperti singa mengamuk. Aileen hampir mengkeret melihat air muka mantan calon suaminya itu.

"Keluar, aku ingin bicara dengan istriku." Ucap Tama dingin.

Dwi mengangkat kedua tangannya. "Oke-oke..." Dwi berjalan menuju pintu, namun sebelum dia keluar, Dwi sempat mengucapkan kalimat yang membuat abangnya melotot kepadanya.

"Aileen, aku siap menerimamu satu paket jika kalian berpisah." Ucap Dwi seraya tertawa keras saat menutup pintu di belakangnya.

Kini tinggal Aileen dan Tama di ruangan Dwi. Keduanya saling menatap. Aileen dengan tatapan penuh kebencian, sedangkan Tama dengan tatapan kemarahan.

Tama melemparkan amplop ke arah Aileen yang kemudian jatuh ke lantai. "Apa maksudnya ini!"

Aileen tahu amplop apa yang dilemparkan Tama ke lantai. Amplop itu adalah amplop berisi surat gugatan cerainya.

Aileen berdiri dengan angkuh, sama sekali tidak mau terintimidasi dengan tatapan Tama yang tajam. Aileen mengeraskan hatinya supaya tidak lemah.

"Aku sudah mengatakan kalau aku ingin kita berpisah waktu itu. Dan aku tidak maincmain, Mas." Ucap Aileen tegas.

Wajah Tama tampak terkejut. Dia memang tidak menyangka kalau Aileen serius dengan ucapannya waktu itu, sebelum Aileen meninggalkannya. Dia membiarkan Aileen seminggu ini supaya Aileen tenang dan tidak emosi lagi. Apalagi dia sengaja menahan Vano supaya Aileen kembali. Tidak disangka Aileen malah nekat menggugat cerai dirinya.

"Kenapa...."

"Aku capek, Mas." Jawab Aileen seraya menghembuskan nafas. Pandangannya dialihkan ke jendela kaca. "Aku lelah karena seingatku, sepanjang kita menikah, aku selalu tersisih dan dinomorduakan. Jadi, sekarang aku tidak ingin merasakan itu lagi. Mas bisa tenang sekarang karena tidak harus memilih diantara kami."

"Bagaimana dengan Vano? Apa kau tidak memikirkannya jika kita bercerai?"

Aileen menatap Tama. "Akan lebih buruk lagi jika dia sering melihat kedua orangtuanya bertengkar. Dan aku harap Mas memberikan hak asuh Vano kepadaku."

"Tidak akan! Kau boleh menunggu selamanya untuk itu!"

"Kau kejam, Mas! Selama ini kau tidak terlalu peduli dengan Vano. Perhatianmu hanya untuk Naura, kenapa sekarang malah menahannya."

"Itu hanya perasaanmu saja. Aku sayang Vano, dia darah dagingku juga."

"Mas, tolong berikan Vano kepadaku. Aku juga ingin bertemu dengannya, Mas. Aku kangen Vano." Mohon Aileen.

"Kau tidak akan pernah bertemu Vano sampai kau mencabut gugatan cerai itu." Ancam Tama.

"Mas tega! Vano anakku, aku yang melahirkan dan menjaganya selama ini." Aileen berusaha tidak mengeluarkan air mata di depan Tama. Tama tidak akan melihatnya lemah.

"Vano membutuhkanmu. Di rumah kita. Kalau kau ingin bertemu Vano, kau harus pulang." Ucap Tama dingin kemudian membalikkan badan dan berjalan keluar dari ruang kerja Dwi.

Tubuh Aileen meluruh ke lantai dan air matanya tak dapat dibendung lagi. Pikirannya bercabang, antara memilih bersama anaknya tapi akan tetap menghadapi masalah yang sama, atau bertahan dengan keputusannya berpisah dan terlepas dari masalah tapi tidak akan bisa melihat anaknya lagi.

03072020

PERNIKAHAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang