24

14.4K 1.3K 129
                                    

Aileen dan Tama duduk di bawah pohon menghadap pantai yang berada di Ancol. Kemudian Tama mulai bercerita.

"Dulu, saat Mas remaja dan Dwi masih kecil, kedua orangtua kami meninggal tanpa meninggalkan harta sedikitpun. Sejak saat itu, Mas banting tulang dan bekerja serabutan untuk mencari nafkah dan bisa bayar kontrakan kamar di daerah kumuh. Uang yang Mas dapatkan harus bisa dibagi untuk makan, bayar kontrakan dan juga sedikit menabung." Wajah Tama menerawang saat teringat masa-masa sulitnya dulu.

"Saat usia Mas 17 tahun, Mas bisa membeli sepeda. Saat itu terpikir oleh Mas untuk menawarkan jasa menjadi kurir mengantarkan apa saja yang diinginkan warga di sekitar tempat tinggal. Alhamdulillah, usaha yang Mas jalankan berjalan lancar hingga bisa beli sepeda motor setahun kemudian. Suatu hari, Mas melihat seorang gadis remaja sedang menangis di pinggir jalan. Mas mendekati gadis itu dan bertanya. Ternyata gadis itu tidak tahu jalan pulang karena ditinggalkan begitu saja oleh pacarnya di jalan. Mas mengantar gadis itu pulang. Gadis itu adalah Celia. Ternyata dia anak orang kaya dengan rumah yang terlihat megah. Ibu dan ayahnya sangat berterima kasih kepada Mas karena sudah menemukan anak mereka yang tidak pulang selama 2 hari. Mereka ingin memberikan Mas hadiah, tapi Mas tolak. Setelahnya Mas pulang." Tama terdiam sejenak untuk meminum air kelapa muda. Sementara Aileen masih diam mendengarkan cerita Tama.

"Saat Mas pulang, tetangga mengabarkan kalau Dwi mengalami kecelakaan saat main sepeda di jalan." Lanjut Tama meneruskan ceritanya. "Dwi sudah di bawa ke rumah sakit. Mas pun buru-buru ke rumah sakit melihat keadaan Dwi. Dwi mengalami luka cukup serius dengan beberapa tulang yang patah. Mas sangat bingung saat dokter mengatakan Dwi harus segera dioperasi, kalau tidak, nyawa Dwi tidak akan selamat. Sangkin bingungnya memikirkan biaya operasi, Mas berjalan di sepanjang koridor rumah sakit seperti orang linglung, hingga seseorang memanggil Mas."

"Nak Adhitama, kan?"

Tama memandang orang di depannya yang ternyata ayah Celia.

"Eh, Bapak. Bapak di sini? Siapa yang sakit?"

"Nak Adhit sendiri ngapain di sini?"

"Adik saya kecelakaan, Pak. Dan lukanya sangat parah hingga harus dioperasi."

"Oh, jadi sekarang lagi nunggu adik kamu yang operasi?"

"Enggak, Pak. Saya tidak punya biaya untuk operasi adik saya." Ucap Tama dengan bibir bergetar, merasa sangat sedih dengan ketidakberdayaannya.

Pak Cahyo, ayah Celia terdiam menatap Tama yang terlihat putus asa. Tapi kemudian wajahnya tampak cerah.

"Nak Adhit, bapak mau membantu biaya operasi adik kamu, tapi dengan satu syarat."

Wajah Tama mendongak menatap Pak Cahyo. Dalam hati berjanji akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan adiknya, asal halal. Kalau disuruh melakukan kejahatan, dia akan menolak.

"Apa syaratnya, Pak?"

Pak Cahyo berdehem. "Saya ingin kamu menikahi putri saya, Celia, besok."

Tama melongo. Tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Kenapa orang sekaya ini mau menikahkan putrinya dengan seorang pemuda miskin sepertinya?

"Pak, apa saya gak salah dengar? Saya ini orang miskin, gak punya harta, Pak. Nanti anak Bapak gak kuat hidup dengan saya." Ucap Tama polos.

Cahyo tertawa mendengar ucapan polos Tama. Dia suka dengan keterusterangan Tama yang bicara apa adanya.

"Itu tidak menjadi masalah. Saya hanya butuh kamu untuk menjadi suami anak saya. Tapi saya akan terus terang mengatakan apa sebabnya saya mau menikahkan putri saya dengan kamu."

"Kalau boleh tahu kenapa ya, Pak?" Ya pasti ada sebabnya kenapa orang kaya mau menikahkan putrinya yang cantik dengan orang miskin sepertinya, pikir Tama.

PERNIKAHAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang