26

17K 1.5K 130
                                    

Celia berjalan mondar-mandir di kamarnya sambil mengomel-ngomel. Dia sangat kesal melihat Tama tadi mengejar Aileen. Tama terlihat sangat takut kehilangan Aileen dan sangat cemburu melihat istrinya tadi bersama pria lain.

"Sialan! Apa sih hebatnya dia dibanding aku. Aku juga cantik dan banyak duit. Tapi sekarang kekayaanku sudah semakin habis gara-gara dulu kekasihku mengurasku, aku ditipu. Saham-sahamku terpaksa aku jual sedikit demi sedikit ke Tama. Jadi, kalau aku mau hidup enak terus, aku harus bisa menikah lagi dengan Tama, agar harta kekayaan keluargaku bisa kembali kepadaku." Celia berhenti ditempat sambil memijit kepalanya yang terasa sakit akibat banyak pikiran.

"Bagaimanapun caranya aku harus berhasil. Kenapa sih wanita itu beruntung banget, Tama mencintainya dan dia hidup enak dari harta keluargaku. Silaaaannnn...!"  Celia menyambar lampu tidur di samping tempat tidurnya, kemudian melemparkannya ke lantai.

"Aku harus temukan jalan." Celia mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke keningnya untuk berfikir. Dan dia menemukan ide. "Aku akan menggunakan Naura lagi. Tama selalu mendengarkan Naura." Celia tersenyum licik kemudian berjalan ke kamar putrinya.

Naura sedang belajar saat Mamanya masuk ke kamarnya.

"Mama, ada apa?" Tanya Naura dengan wajah takut. Melihat senyuman mamanya yang sering ditunjukkan kepadanya saat ada maunya, dia sudah hapal.

"Naura, kau harus melakukan sesuatu untuk Mama. Kau harus bisa membuat Papa mu kembali ke Mama. Pergilah tinggal di rumah Papa mu malam ini juga. Buat Papa kembali ke Mama."

"Tapi, Ma, Naura capek harus berpura-pura jahat." Protes Naura yang langsung dapat pelototan dari Celia.

"Kau harus nuruti perintah Mama." Celia mengambil sapu lidi di balik pintu yang biasa digunakan untuk membersihkan tempat tidur, kemudian mendekati Naura. "Cepat telpon Papa mu untuk menjemputmu ke sini!" Perintah Celia.

Naura menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sebenarnya tidak suka berperan sebagai anak yang ingin menghancurkan rumah tangga papanya. Dia sebenarnya senang melihat papanya behagia menikah dengan Aileen.

"Enggak, Ma."

Celia murka dan mulai melibas punggung Naura yang segera membalikkan badan saat mamanya akan memukulnya. Naura terisak sambil menahan sakit. Dia sudah biasa dipukul Celia saat Celia marah.

"Cepat telpon papamu, atau kau mau Mama mati bunuh diri kalau kau tidak mengikuti perintah Mama!"

Tentu saja Naura takut kalau sampai Mamanya bunuh diri. Dia nggak mau jadi sebab kematian Mamanya. Lebih baik dia saja yang mati, sayangnya percobaan bunuh diri yang dulu dia lakukan tidak berhasil, karena Celia keburu melihatnya sebelum dia mati. Dia sudah tidak tahan hidup dengan Mama yang psikopat yang terus memaksanya bersandiwara menjadi anak yang terus mengganggu kehidupan rumah tangga papanya yang sangat disayanginya itu. Papanya harusnya sudah hidup bahagia bersama Aileen dan anak mereka, tapi kegilaan Mamanya selalu menyuruhnya untuk mengganggu Papanya.

"Ampun, Ma. Udah, Ma!" Jerit Naura sambil terisak-isak.

Celia berhenti memukuli Naura. Naura menoleh ke Mamanya, merasa lega karena Celia sudah berhenti memukulnya. Tapi alangkah terkejutnya dia saat Celia mengambil gunting dan hendak mengarahkannya ke perutnya sendiri. Naura langsung berteriak dan berlari menuju mamanya.

"Mamaaaaa.....jangaaannnn.....Naura akan melakukan yang Mama mau...." Naura berhasil memegang tangan mamanya hingga tidak menusuk perutnya sendiri.

"Biarin aja Mama mati! Nggak ada yang sayang sama Mama!" Teriak Celia berusaha melepaskan tangan Naura yang memegang tangannya.

"Jangan, Ma. Naura akan nuruti kata-kata Mama." Bujuk Naura dengan wajah sedih dan berlinang air mata.

Celia langsung berhenti histeris dan menatap Naura tajam. "Benar kamu mau?"

Naura mengangguk.

"Bagus. Sekarang telepon Papa mu biar kamu dijemput."

"Iya, Ma."

Naura pun menelepon papanya, mengatakan ingin menginap di rumah papanya karena rindu dengan papanya dan Vano. Tentu saja Tama langsung menyetujui keinginan putrinya itu.

***

Tama memasuki ruang kerja Aileen. Dilihatnya Aileen sedang serius menatap komputer di depannya.

"Ehemm...."

Aileen menoleh dan terkejut melihat Tama yang sudah duduk di depan mejanya tanpa sepengetahuannya.

"Ada apa?" Tanya Aileen ketus dan kembali menatap layar komputer.

"Bunda mau datang, katanya kangen sama Vano." Ucap Tama santai. Sebenarnya Tama lah yang menelepon Bunda supaya datang ke Jakarta. Itu salah satu triknya untuk mempertahankan Aileen. Dia yakin Aileen belum mengatakan apapun kepada Bunda bahwa dia akan menceraikan dirinya.

"Bunda mau datang?" Ucap Aileen terkejut dan langsung menatap Tama.

"Iya. Kemarin Bunda nanya kamu. Memangnya kamu nggak ditelpon Bunda semalam?"

"Oh, kemarin ponselku ketinggalan di kantor. Coba aku cek dulu, Bunda ada nelpon apa enggak." Dan ternyata ada beberapa kali panggilan tak terjawab dari Bunda. Ckk, gimana nih kalau Bunda datang. Aku kan udah gak serumah lagi sama Mas Tama."

"Kau harus pulang, Ai." Ucap Tama seperti mengetahui apa yang difikirkan Aileen. "Sepertinya Bunda sama sekali tidak tahu kalau putrinya mau menceraikan suaminya." Tanya Tama dengan nada menyelidik. "Kenapa?"

"Bukan urusanmu."

Tama menghela nafas melihat kekeraskepalaan Aileen yang baru dilihatnya. "Sebaiknya kamu pulang ke rumah kita. Besok Bunda datang, dan kita akan menjemputnya bersama. Kamu gak mau bikin Bunda sakit kan kalau tahu bahwa putrinya mau menceraikan suaminya?"

Aileen mendengus kesal. Dia sepertinya tidak punya pilihan. Kalau Bundanya tahu dia sudah pisah ranjang dengan menantu kesayangannya, bisa-bisa Bunda stres dan akibatnya jadi sakit. Apalagi dalam silsilah keluarganya, tidak ada satupun yang pernah bercerai. Bisa habis dia diomeli Bunda. Bunda pasti akan sangat kecewa padanya.

Tapi dia tidak akan membuat mudah juga untuk Tama. Dia punya syarat-syarat yang harus dipenuhi Tama kalau dia kembali ke rumah.

"Aku punya syarat."

Tama mengerutkan keningnya dan menatap tajam Aileen. "Oke. Apa syaratmu?"

"Aku enggak mau kita tidur sekamar."

"Terus, apa kamu sudah memikirkan apa tanggapan Bunda jika melihat kita tidak tidur sekamar?"

Ya, betul juga yang dikatakan suaminya. Pasti Bunda akan curiga. Tapi, dia kan juga gak sudi tidur sekamar dengan Tama. Dia tahu betul semesum apa suaminya itu. Batin Aileen kesal.

"Baiklah. Kita tidur sekamar tapi tidak setempat tidur. Mas gak boleh mendekatiku."

Tama tersenyum sinis. "Apa kamu kira aku mau niduri istri yang tidak sudi kusentuh. Kamu tenang saja kalau soal itu."

Aileen sakit hati juga mendengar jawaban Tama. Dia merasa seolah Tama tak membutuhkannya lagi. Atau memang sudah tidak butuh karena sudah memiliki pengganti? Walau dia juga merasa lega dengan janji Tama itu.

"Ya sudah, besok setelah pulang kerja aku ke rumah." Ucap Aileen dengan nada kesal.

Tama tersenyum lega. "Oh ya, Mas mau ngasih tahu kalau Naura juga tinggal bersama kita saat ini."

Mata Aileen membelalak menatap Tama. Bisa dibayangkannya, mulai besok hidupnya akan sangat rumit. Pertama, harus bersandiwara di depan Bundanya. Kedua, harus menahan diri melihat tingkah memuakkan anak tirinya.

"Cobalah berbaikan dengan Naura. Bagaimanapun dia anakku." Ucap Tama kemudian meninggalkan Aileen yang menatap sengit punggung Tama hingga menghilang di balik pintu.

30082020

Maaf ya lama
Tapi kelanjutannya nantipun agak lambat karena aku lagi sakit yg sakitnya juga lama sembuhnya. Padahal cuma demam dan sakit lambung, tapi kok gak sembuh2

PERNIKAHAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang