"APA YANG KAU LAKUKAN!"
Aileen terkejut dan wajahnyapun berubah pucat. Bukan saja karena bentakan Tama, tapi juga terkejut karena sikapnya yang lepas kendali. Seharusnya dia tetap bisa mengendalikan diri. Tangannya sampai gemetar.
Sementara Naura menangis sesenggukkan sambil memegang pipinya. "Papa...sakit, Pa. Naura takut."
Tama menutup pintu supir dan membuka pintu penumpang dimana Naura duduk. Tama memeluk putrinya tapi tatapan tajamnya tak lepas ke arah Aileen.
"Diamlah, Sayang. Mama Aileen tidak sengaja."
"Padahal Naura tadi gak ngapa-ngapain, Pa. Tapi kayaknya Tante gak suka sama Naura. Tante bilang Naura hanya pengganggu...hiks.."
"Itu tidak benar, Sayang. Naura anak Papa, bukan pengganggu."
Aileen tidak percaya Naura bisa memfitnahnya seperti itu dihadapannya. Dan yang paling menyakitkan, Tama terlihat percaya dengan ucapan Naura.
"Aileen, kita harus bicara."
Merasa tidak tahan dengan drama Naura, Aileen memilih keluar dari mobil tanpa peduli dengan panggilan suaminya, dan berjalan cepat menuju angkot yang sedang menurunkan penumpang. Dia sampai tidak peduli angkot itu akan pergi ke arah mana. Yang penting saat ini dia tidak ingin berada diantara ayah dan anak itu.
"Bu, boleh pinjam ponselnya sebentar gak? Saya mau menelepon seseorang tapi lupa bawa ponsel." Ucap Aileen kepada seorang ibu yang duduk di sebelahnya.
Si ibu menatap wajah Aileen yang pucat kemudian memberikan ponselnya.
"Dwi, tolong jemput aku." Aileen menyebutkan daerah yg akan dia lewati kepada Dwi. Kemudian Aileen mengembalikan ponsel tersebut dan mengucapkan terima kasih.
Dia baru teringat kalau dia tidak membawa uang juga. Gimana bisa bayar angkot? Aileen meraba kantong di roknya, dan menemukan uang belasan ribu di sana. Aileen pun bernafas lega.
Aileen turun dari angkot dan menunggu Dwi menjemputnya. Namun hampir satu jam Aileen menunggu, barulah Dwi sampai.
"Maaf, Ai. Jalanan macet banget." Ucap Dwi setelah Aileen masuk ke dalam mobil.
"Gak papa, Dwi. Kamu bisa jemput aja aku udah syukur."
"Ada apa, Ai."
"Aku khilaf, Dwi." Kemudian Aileen menceritakan kejadian tadi kepada Dwi.
"Anak itu memang sudah keterlaluan, Ai. Tapi kamu sebagai orang dewasa dan terutama ibu sambungnya, harus bisa lebih sabar dan menahan diri."
"Aku rasanya sudah putus asa, Dwi. Entah gimana nasib rumah tanggaku sekarang."
"Bicarakan baik-baik dengan Bang Tama."
"Entahlah. Tama pasti lebih percaya dengan ucapan anaknya daripada aku, Dwi." Rasanya dadanya sungguh sesak hingga Aileen tidak dapat lagi menahan air matanya. Aileen menangis sesenggukkan. Dia merasa sudah tidak sanggup lagi menjalani pernikahannya.
Dwi sangat bersimpati dengan nasib Aileen. Tapi dia juga tidak dapat berbuat banyak.
Dwi mengusap punggung Aileen yang terguncang untuk sekedar menenangkan, karena memang hanya itu yang bisa dilakukannya.
"Aku akan mengantarmu pulang. Ingat, kamu masih punya Vano yang harus kamu urus, Ai."
Diingatkan tentang anaknya, Aileen langsung menghentikan tangisannya. Ya, dia harus pulang demi Vano. Terserah apa yang akan terjadi dengan dirinya nanti. Mungkin Mas Tama akan sangat marah dengannya karena sudah menyakiti anak kesayangannya.
***
"Makasih, Dwi."
"Ya. Bersabarlah, Ai."
Aileen mengangguk kemudian keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumahnya.
Rumah terlihat sepi saat Aileen masuk. Aileen terus berjalan menuju ke kamar anaknya. Aileen membuka pintu kamar anaknya dan terkejut melihat Tama sedang menidurkan Vano dengan menggendongnya.
Wajah Tama terlihat gelap saat menatap Aileen. Matanya menatap tajam Aileen, membuat Aileen resah.
"Tadi Vano menangis-nangis mencarimu. Kemana saja kau?" Ketus Tama.
Aileen yang masih merasa jengkel tidak mau menjawab pertanyaan suaminya. Aileen malah mengatakan hal lain.
"Berikan Vano, aku akan menidurkannya."
Tama mendengus kemudian meletakkan Vano yang sudah tertidur dengan perlahan ke tempat tidurnya.
Setelah itu Tama berbalik menghadap Aileen, dan berkata dengan nada dingin tak ingin dibantah, "Mas ingin bicara. Ayo ke kamar."
Aileen menelan ludahnya melihat aura gelap suaminya. Tapi Aileen tidak ingin jadi pengecut yang melarikan diri dari masalah. Maka Aileen mengikuti suaminya masuk ke kamar mereka melalui pintu penghubung antara kamar Vano dan kamar mereka.
"Mas sama sekali tidak menyangka kamu bisa bersikap sekasar itu terhadap Naura." Ucap Tama langsung setelah mereka berada di kamar.
Aileen sudah tidak ada keinginan untuk membela diri. Apalagi kelihatannya suaminya lebih percaya cerita anaknya daripada pembelaannya nanti. Jadi Aileen tidak mau mengatakan apa-apa lagi untuk membela diri. Aileen menganggap itu percuma saja dan hanya membuang-buang tenaga.
"Kenapa diam. Kau tidak ingin membela diri?" Tanya Tama tidak sabar. Matanya terus menatap tajam istrinya.
"Sudahlah, untuk apa aku membela diri? Toh, Mas akan lebih percaya dengan Naura." Ucap Aileen acuh. "Sekarang terserah Mas aja maunya apa. Mau menceraikan aku juga boleh."
Ucapan terakhir Aileen menyulut kemarahan Tama. "Itu terus yang kamu ucapkan. Apa memang itu maumu, Ai? Kamu memang ingin kita berpisah?"
Deg
Jantung Aileen serasa berhenti mendengar ucapan bernada tantangan suaminya. Rasanya jantungnya seperti diremas. Tentu saja sebenarnya dia tidak ingin bercerai. Tapi keadaan rumah tangganya sungguh sudah tidak sehat lagi.
"Jika itu yang terbaik untuk kita, aku ikhlas."
Wajah Tama tampak mengeras. Tapi dia tidak mengucapkan apapun, Tama berjalan keluar kamar dengan membanting pintu.
Aileen langsung menghembuskan nafasnya, tanpa sadar dia tadi ternyata menahan nafas. Aileen pun terduduk lemas di lantai sambil memegang dadanya yang sakit, tapi tak setetes air matapun menetes lagi.
17062020
KAMU SEDANG MEMBACA
PERNIKAHAN BAYANGAN
RomancePRIVAT ACAK. FOLLOW DULU YA. Tiga tahun membina rumah tangga, membuat Aileen Syafa Zubairi sudah merasa cukup atas segala sikap suaminya yang masih terikat dengan mantan istri dan putrinya yang berusia 15 tahun, dari pernikahan pertamanya. Bahkan ha...