Bab 42 (Hukuman)

295 27 6
                                    

Semalam Devi tidur terlalu larut bahkan bisa di bilang dia tidur ketika hampir menjelang pagi, akibatnya sekarang dia kesulitan untuk bangun. Hal ini terjadi karena semalam dia menjalankan misi rahasia.

Kedua mata Devi layaknya di olesi lem, begitu rapat dan sulit di buka. Untung saja Zakky dengan sabar terus membangunkan istrinya dengan suara menggelegar seperti biasanya.

"Lima menit lagi Pak saya bangun," ucap Devi sambil merapatkan selimutnya dan menutup telinganya dengan bantal, teriakan Zakky di pagi hari sebanding dengan suara petasan yang di dekatkan ke telinga.

"Sekarang sudah pukul setengah sembilan, dapat dipastikan kita terlambat ke kantor. Kenapa kamu tumben sekali bangun kesiangan?"

"Semalam saya harus menjalankan misi." Devi keceplosan.

"Misi? MISI APA?"

"Hah?" Devi baru sadar ucapan tadi justru menjebaknya. "Maksud saya, permisi saya mau lewat ke kamar mandi."

Devi tahu bahwa suaminya tidak akan mudah di bohongi, sekali Devi keceplosan maka Zakky akan menanyakan penjelasan. Untuk menghindari pertanyaan dari suaminya, dia langsung berlari ke kamar mandi. Karena masih mengantuk dan mengira pintu kamar mandi sudah terbuka padahal belum sama sekali, kepalanya sampai terbentur pintu. Kepalanya terasa sakit sekaligus pusing.

***

"DI RUMAH, STATUS KAMU MEMANG ISTRI SAYA. TAPI JIKA DI KANTOR, KAMU ADALAH BAWAHAN SAYA." Zakky emosi, untuk kedua kalinya dia terlambat ke kantor gara-gara Devi.

"Ya, saya mengerti."

"Jadi atas keterlambatan kamu ini, yang menyebabkan saya terlambat juga. Oleh karena itu kamu terpaksa saya hukum." Zakky masih fokus memerhatikan jalan, dia mengemudikan mobil dengan cepat tanpa menoleh pada istrinya.

"Ya ya ya," jawab Devi masih tiduran di jok mobil sambil mengompres kepalanya yang masih benjol.

"KAMU MEMPERHATIKAN SAYA ATAU TIDAK?"

"IYA." Devi semakin kesal, sejak tadi suaminya hanya marah-marah sampai tidak memperhatikan luka yang dialami oleh dirinya, bagaimana jika benjol ini berubah menjadi amnesia. Ya, mungkin terlalu berlebihan tapi jujur saja yang dibutuhkan Devi saat ini adalah ketenangan.

"Sekarang pukul setengah sepuluh, sejak tiga puluh menit lalu kamu sudah jadi bawahan saya, jangan kurang ajar pada atasan."

Devi berpaling memperhatikan jalan dan tidak peduli dengan ucapan suaminya, lagi-lagi status itu dibahas suaminya padahal tiba di kantor saja belum, membuat Devi tambah pusing saja.

"KENAPA KAMU HANYA DIAM?" tegur Zakky.

Devi menghembuskan napasnya dengan kasar, lama-lama dia tidak bisa memendam rasa amarahnya, bukankah seekor kucing akan mencakar jika terus diganggu?

"Kenapa Bapak selalu membahas status diantara kita? Atasanlah, bawahanlah. Iya saya tahu, bahwa saya hanyalah sebagai babu Bapak di kantor." Kepalanya yang benjol terasa semakin berdenyut saja ketika dipadukan dengan ledakan amarahnya.

"Hal itu saya lakukan demi keadilan dalam memperlakukan karyawan."

"Keadilan apa? Yang saya lihat justru Bapak memperlakukan saya berbeda dengan karyawan lain. Saya tidak pernah melihat Bapak marah pada karyawan lain tapi pada saya? Bapak selalu marah-marah, kemudian Bapak sering menjahili saya. Terlebih lagi Bapak memanggap saya dengan sebutan bawahan, padahal Bapak pernah berkata 'Anggaplah saya sebagai teman bukan atasan kalian'. Semua ucapan itu hanyalah omong kosong, dilakukan sebagai bagian dari rencana Bapak untuk menguasai perusahaan."

"DEVI!" Zakky menghentikan mobilnya. "Kamu berbeda dengan karyawan di luar sana, kamu adalah istri saya. ada sesuatu yang tidak kamu pahami."

"Betul sekali kita berbeda Pak. Bapak atasan dan saya bawahan, Bapak kaya sedangkan saya sederhana. Saya sekarang paham tujuan Bapak menikahi saya yang sebenarnya. Semua akan saya ungkapkan ketika saya memiliki bukti yang lengkap. Sekarang apa keinginan Bapak, menurunkan saya di tengah jalan seperti ini? Baiklah."

Dream Zone: Sleeping Pills (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang