Bab 29 (Buah Simalakama)

228 24 2
                                    

Peristiwa lamaran yang Zakky lakukan bukan berarti tidak dipikirkan oleh Devi. Justru hal itu malah memenuhi pikirannya. Dia berusaha untuk menemukan cara agar keinginan Zakky maupun Pak Effendy tidak terlaksana. Mereka bisa saja mengatakan hal tersebut untuk kebaikan dirinya, namun tetap saja di kasus ini Devi-lah yang menjadi korbannya.

Dan karena peristiwa kemarin itulah hubungan Zakky dan Devi menjadi semakin menjauh. Devi menjadi sangat pendiam. Ketika Zakky menjenguk Pak Effendy di rumah sakit, wanita ini selalu menghindar, beralasan ingin keluar mencari udara segar dan tidak ingin berpapasan maupun mendengar suara pria menyebalkan itu.

Tidak ada hubungan lain diantara mereka selain rekan kerja. Mereka bisa menyingkirkan ego masing-masing dan bekerja sama dengan baik di kantor. Namun, bagi Devi hubungan mereka selebihnya hanyalah musuh belaka. Tidak pantas jika musuhnya itu mengekspansi hubungan dengan cara mengikat tali pernikahan dengan dirinya.

Zakky pun memilih untuk diam dan tidak mengungkit kejadian kemarin. Dia tidak ingin menciptakan suasana hubungan yang lebih buruk dengan wanita yang sebetulnya sejak lama telah mencuri hatinya itu.

.

.

.

Sore ini Devi terpaksa harus pergi ke rumah sakit lagi dikarenakan kondisi Ayahnya yang semakin kritis. Hari itu seharusnya dia membantu tugas bosnya untuk lembur. Namun karena masalah mendesak ini akhirnya dia meminta izin untuk pulang lebih awal.

Zakky tidak bisa membiarkan Devi pergi sendirian, dia memaksa untuk mengantarkan asisten pribadinya itu. Sekaligus dia pun ingin menjenguk untuk memastikan keadaan Pak Effendy bisa tertangani dengan baik. Devi hanya bisa pasrah menerima untuk diantarkan, yang jelas dia ingin cepat sampai ke rumah sakit dan hingga akhirnya dia sejenak menyingkirkan ego dalam hatinya untuk kemudian berangkat bersama Zakky.

Hanya keheningan yang terasa dalam mobil, Zakky merasa canggung jika harus berbicara duluan. Begitu pula dengan Devi yang masih marah atas peristiwa kemarin, pikirannya juga dipenuhi oleh prasangka keadaan sang Ayah.

"Berpikirlah positif Dev, Ayahmu akan baik-baik saja," ucap Zakky mulai bicara, dia tidak bisa melihat Devi terus larut dalam kecemasan.

"Kita masih belum damai Pak," balas Devi, pandangannya masih tertuju pada jalanan.

Zakky tak menjawab, dia menunggu kalimat Devi selanjutnya namun hanya keheningan yang kembali terasa. Hingga kemudian mobil yang dikendarai Zakky sudah sampai di tujuan. Devi langsung berlari panik menuju ke dalam ruangan sang Ayah.
Terlihat Ibu dengan setia menemani Ayah yang belum tersadar dari pingsannya.

"Ayah kamu sepertinya banyak pikiran, dia begitu takut jika suatu ketika dirinya meninggal tidak ada seseorang yang menjadi penggantinya untuk melindungi kita," jelas Ibu dengan kedua mata yang sembab.

Kali ini air mata Devi terjatuh. Dia sampai terduduk di lantai kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan. Cukup lama wanita ini menangis dalam heningnya suasana ruangan rawat sang Ayah.

Jujur saja Devi merasa menyesal karena belum bisa mewujudkan permintaan sang Ayah, apalagi selama ini Pak Effendy tidak pernah menuntut apapun pada anak semata wayangnya itu.

Kondisi ini betul-betul membuatnya merasa terpukul sampai dirinya melanggar janji pada Ayahnya yang selalu berpesan untuk tetap kuat dan tidak akan menangis. Namun, ujian yang dia terima kali ini terasa begitu berat hingga membuatnya tidak kuat. Dihadapkan dua masalah yang saling berhubungan, yang keduanya jauh dari kata menyenangkan.

Zakky berusaha menenangkan Bu Effendy yang kembali menangis. Perlakuannya begitu lembut pada kedua wanita yang bersamanya saat ini. Namun, hal itu tidak membuat Devi berubah pikiran. Dia juga memikirkan tentang Farish, dia tak ingin membuat kekasihnya itu terluka.

Dengan wajah yang masih berlinang air mata, Devi menghampiri Bu Effendy yang tengah duduk di kursi yang terletak di sebelah ranjang Pak Effendy.

"Sebelum pingsan, Ayah dan Ibu sedang berbincang. Dia ingin kamu cepat menikah." Ibu mengusap air matanya yang belum berhenti mengalir.

"Rasanya tidak mungkin Devi menikah segera Bu, Mas Farish sedang kuliah di luar negeri. Kami sudah memutuskan menunda pernikahan kami sampai Mas Farish lulus nanti. Sekarang dia begitu sibuk dengan kegiatan kampusnya," jawab Devi sambil berusaha menghentikan isak tangisnya.

"Kamu kan sudah tahu bahwa Ayahmu lebih senang kalau kamu menikah dengan Zakky." Bu Effendy mengalihkan pandangannya ke arah pria yang tengah berdiri di belakang mereka.

Pandangan Devi pun beralih pada Zakky, bukan pandangan simpati karena berhasil menjadi menantu idaman kedua orang tuanya melainkan pandangan benci. Sekarang pria itu pasti sudah merasa berada di atas awan.

"Ibu hanya mengingatkan kamu tentang pesan Ayah saja, sisanya kamu yang menentukan."

Devi amat bingung, pikirannya semakin kalut. Rasanya dia tak sanggup untuk hidup di tengah ujian rumit yang sedang menimpanya ini. Tapi, dia harus tetap kuat. Di setiap ujian pasti terdapat jalan keluar serta hikmah didalamnya. Ujian akan membuat manusia semakin kuat dalam menghadapi masalah berikutnya yang bisa jadi jauh lebih berat.

"Malam ini kamu pulang saja, biar Ibu yang menjaga Ayah. Kamu pasti lelah seharian bekerja, lagipula kamu belum membersihkan diri dan belum makan malam kan? Tadi pagi sudah Ibu siapkan makanan, kamu tinggal menghangatkannya saja." Ibu mengelus kepala putri semata wayangnya, disaat terpuruk seperti ini anaknyalah yang setia menemani dan menghiburnya.

"Ibu juga belum makan kan?"

"Sudah kok, tadi Ibu beli makanan. Kalau tidak percaya, kamu bisa lihat kotak bekas makanannya di tong sampah. Sekarang kamu pulang dulu saja dengan Zakky. Yakinlah bahwa dokter akan menangani Ayahmu dengan baik."

Jika Ibunya meminta demikian harus bagaimana lagi, Devi harus pulang. Besok Devi harus bekerja lagi untuk biaya tambahan operasi Ayahnya. Lagipula tubuh Devi sudah merasa lelah dan ingin segera merebahkan diri di kasurnya.

.

.

.

Devi dan bosnya sudah sampai di pintu keluar rumah sakit, sejak tadi mereka hanya saling diam. Zakky tidak ingin memulai pembicaraan, lagipula jika dirinya memaksakan untuk bertanya pasti tidak akan di jawab oleh wanita ini.

"Bapak bisa pulang duluan. Saya naik taksi saja," ucap Devi akhirnya membuka mulut.

"Yakin? Tidak takut diculik? Sudah malam lho." Zakky menakut-nakuti Devi.

"Saya itu bukan anak kecil Pak, tidak akan mempan di takuti dengan cara seperti itu." Wajah Devi berubah kesal.

"Baiklah, kalau sanggup bayar ongkosnya ya silakan saja."

Telapak tangan wanita itu sukses mendarat di dahinya, bodoh sekali. Kenapa Devi baru sadar kalau tasnya ketinggalan di kantor. Di dalam tas itu terdapat dompet yang berisi uang tunai maupun kartu ATM miliknya.

"Saya pakai taksi online saja kalau begitu. Bisa dibayar dengan e-cash," ucap Devi penuh kemenangan.

"Silakan pesan kalau begitu."

Devi merogoh saku celana maupun blazer yang dia kenakan, lagi-lagi dia baru menyadari kalau handphonenya diletakkan didalam tas yang justru ketinggalan di kantor.

"Mau ikut saya atau mau jalan kaki? Silakan saja kalau tidak kelelahan, bisa-bisa baru sampai ke rumah besok siang saking jauh jaraknya."

Dengan terpaksa dan wajah kesal, akhirnya Devi ikut pulang bersama Zakky. Entah kenapa hari ini, semua rencana Devi untuk menjauh dari pria menyebalkan ini hancurlah sudah. Sepertinya alam semesta pun ikut mendukung Zakky untuk terus berdekatan dengan Devi.

***

Published on: 22 Mei 2020

.

.

.

Jangan lupa meninggalkan jejak berupa vote dan komen 💙

"Jangan pernah ceritakan masalahmu pada siapa pun. 20% tidak peduli dan 80% lainnya senang Anda punya masalah."
Lou Holtz

Dream Zone: Sleeping Pills (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang