Bab 4 (Insiden Taksi & Restoran)

432 56 5
                                    

Zakky keluar dari kamarnya di lantai atas, dia mengenakan kemeja coklat dengan jas hitam dan celana yang senada dengan jasnya yang kesemuanya merupakan barang branded. Wajahnya yang tampan dengan tubuh kekar serta tinggi badan 178 cm, membuat pria ini terlihat tegas dan berkharisma bagaikan seorang model. Pantas saja banyak wanita yang berebut untuk mencuri perhatiannya, termasuk para tetangganya yang memang belum menikah atau bahkan banyak pula Ibu-Ibu yang berusaha menjodohkan anak perempuannya dengan Zakky.

Reaksi pria ini hanya tersenyum seraya berkata, "Saya masih sibuk dengan pekerjaan saya, jadi belum terpikir untuk menikah."

Sebenarnya Zakky mempunyai seorang sopir, namun hari ini dia memutuskan akan naik transportasi umum karena supirnya kebetulan sedang sakit. Sebetulnya bisa saja Zakky menyetir sendiri namun dia belum begitu hafal dengan jalan di kota ini sehingga dia memilih untuk naik taksi saja.

Menurut Pak Eko; satpam rumah Zakky, biasanya ada taksi yang berlalu lalang melewati jalanan komplek untuk mengantar jemput para pelanggannya. Jadi Zakky memutuskan untuk menunggu taksi di depan pagar rumahnya. Hingga sepuluh menit kemudian muncul satu taksi.

"Taksi!" panggil Zakky yang ternyata bersamaan dengan Devi.

Sontak keduanya menjadi saling tatap, kemudian mereka spontan berlari kearah taksi yang terhenti karena telah dipanggil calon penumpangnya itu. Pintu taksi akhirnya sudah diraih, nahas lagi-lagi mereka memegang knop pintu taksi secara bersamaan, dan pertikaian antara keduanya pun dimulai kembali.

"Saya duluan!" ucap Devi.

"Saya yang duluan!" balas Zakky tak mau kalah.

Mereka saling melemparkan pandangan mengancam satu sama lain dan tak mau mengalah.

"Dimana-mana perempuan itu harus didahulukan, ladies first," tegas Devi.

"Di kamus saya tidak ada yang namanya ladies first."

"Makanya beli kamus itu yang lengkap, sekalian beli kamus 1000 triliun kata."

"Kamu ini tidak mengerti perumpamaan atau bagaimana?" tanya Zakky heran.

"Lagipula kamu pakai membawa perumpamaan segala, kita ini sedang berdebat bukan lomba membuat puisi. Di kamus saya juga tidak ada kata man first, puas? Sekarang saya duluan yang naik taksi ini."

"Eh Mbak dan Mas-nya jadi atau tidak naik taksi saya? Saya harus ngejar orderan lagi nih, bisa-bisa waktu saya habis hanya untuk mendengarkan perdebatan kalian. Anak dan istri saya juga butuh makan, yang naik taksi baru satu orang, ini lagi kalian bukannya jadi penumpang malah bertengkar rebutan taksi," ucap sopir taksi tak sadar malah curhat.

"Maka dari itu saya duluan yang naik taksi kan Pak?" tanya Zakky.

"Tidak bisa! Lebih baik saya duluan Pak! Kita kan sudah langganan." Devi menaik turunkan kedua alisnya.

"Ya sudah Mbak Devi yang naik duluan."

"Tunggu dulu! Saya akan memberi ongkos dua kali lipat kalau Bapak mengantar saya duluan," tawar Zakky, perjuangannya tidak boleh selesai sampai disini.

"Wah tawaran yang bagus, baiklah Mas ganteng boleh naik duluan." Seketika wajah Pak Supir sumringah.

Devi tak mau kalah, dia mencoba memberikan tawaran yang lebih fantastis.

"Kalau Bapak mengantar saya duluan ..." Pak supir mendengarkan dengan seksama kata demi kata yang diucapkan Devi, "saya kasih ongkos dua kali lipat dan ..." Devi merogoh tasnya, "dan ... bonus permen deh Pak, hehe."

"Hanya sebuah permen? Saya kasih ongkos tiga kali lipat dan permen satu bungkus untuk Bapak jika mengantar saya duluan," tawar Zakky lagi.

Devi berfikir sejenak, kalau ongkos sebanyak itu dia menjadi ragu, THR dari kantornya saja sudah habis untuk di bagikan ke sanak saudara dan digunakan untuk kebutuhannya sendiri. Apakah dia harus mengalah?

Dream Zone: Sleeping Pills (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang