Episode 17 Vian

12.1K 715 28
                                    

Vian melangkah kakinya mendekat. Kemudian dia mengangkat sebelah tangannya sambil menyungging senyum lebar. "Hai, apa kabar? Udah lama ya kita nggak jumpa."

"Ehm, b-baik Mas," jawab Lisa sedikit terbata-bata, masih sedikit syok dengan keberadaan Vian di tempat ini. Memang cukup lama mereka tidak bertemu, hampir lima tahunan, mungkin sejak insiden Yuda yang menuduhnya selingkuh dengan cowok di hadapannya kini.

Kepala Vian celingak-celinguk. "Kamu sama siapa di sini? Sendiri saja?"

"Sama...," Lisa menjedakan kalimatnya sesaat, mencoba memikirkan jawaban yang tepat untuk sosok Yuda yang sedang berada di toilet sekarang, mengingat bagaimana tidak baiknya hubungan mereka di masa lalu. "Sama teman Mas," sambungnya. Hingga saat ini, Lisa masih belum mengakui kalau Yuda adalah kekasihnya. Jadi nggak salah kalau dia menganggap laki-laki jangkung itu sebagai temannya. "Mas Vian kok bisa ada di Jakarta? Kuliah di sini?"

Vian menggeleng. "Nggak kok. Ada sedikit urusan di Jakarta." Vian merogoh saku jaket dan mengeluarkan ponselnya. "Boleh minta nomor kamu?"

Lisa terdiam cukup lama. Dia ingin menolak. Tetapi bingung harus melontarkan kalimat seperti apa. Dia sungguh ingin menghindari laki-laki di depan kini.

"Jadi boleh aku minta nomormu?" tanya Vian lagi yang terdengar sedikit memaksa. "Boleh Mas," kata Lisa yang akhirnya memutuskan untuk memberikannya saja. Dia tidak menemukan kalimat penolakan yang cocok, yang tidak akan membuat Vian tersinggung.

"Oke. Aku save ya," ujar Vian setelah Lisa menyebutkan digit-digit ponselnya. "Coba aku miscall ke nomormu. Yang belakangnya 8321, itu nomorku," lanjutnya sambil menekan ikon hijau.

Mata Lisa spontan terbelalak lebar. Dia baru ingat dan menyadarinya. Sekarang ponselnya ada di dalam tas selempangnya. Sementara tasnya sedang berada di tangan Yuda.

"Masuk nggak?"

"Nggak tahu Mas. HP-ku sedang dibawa temanku," jawab Lisa dengan suara sedikit bergetar. Di dalam hati, Lisa terus berdoa, semoga Yuda tidak mengangkatnya.

"Tapi simpan nomorku," tuntut Vian.

"Ya Mas," sahut Lisa dengan sedikit mengangguk enggan.

Vian terpaku sejenak dengan layar ponselnya. Dia menoleh ke kanan, kemudian mengangkat sebelah tangan dan sedikit melambai pada sosok berhijab yang juga sedang melambaikan tangannya. "Aku ke sana dulu ya. Kakakku sudah menunggu," ucap Vian sebelum beranjak. Namun baru beberapa langka, Vian membalikkan badannya lagi. "Besok kamu ada waktu nggak?"

Kening Lisa refleks mengerut. "Memangnya ada apa Mas?"

"Boleh-" Belum sempat Vian menyelesaikan kalimatnya, ponsel yang ada di tangannya berbunyi. Dia menoleh ke ponselnya sebentar. "Nanti aku hubungi lagi," tukasnya. Dia berlari- lari kecil menuju gadis berhijab merah yang sejak tadi menunggunya.

"Siapa?"

Deg. Deg. Deg. Degup jantung Lisa kontan berdetak sangat cepat. Bergemuruh bagai suara letusan gunung merapi. Suara yang familiar itu membuatnya terperanjat kaget. Dia mengikuti arah pandangan Yuda yang tertuju pada sosok Vian. Untung saja Vian tidak menoleh lagi ke belakang sehingga Yuda tak melihatnya.

"Siapa dia?" tanya Yuda lagi, kini terdengar menuntut untuk dijawab.

"Teman sekelas," bohong Lisa.

Alis Yuda terangkat sebelah, sedikit curiga. "Siapa namanya?"

Lisa mendengus kasar. Apakah saat ini Yuda berniat untuk menginterogasinya. "Lo jadi makan nggak? Kalau nggak, antarkan gue pulang," celetuk Lisa dengan sinis.

ConnectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang