Lisa berjalan pelan dengan kepala sedikit menunduk. Yuda baru saja pulang setelah dia mengusirnya. Cowok itu tidak mengatakan apa-apa sejak dia memintanya untuk menjauh. Tidak ada bantahan sama sekali. Namun matanya tak bisa berbohong. Lisa bisa menangkap kalau Yuda merasa sangat kecewa. Tatapan matanya terlihat kosong. Bibirnya juga sedikit bergetar dan kedua matanya yang berkaca-kaca.
"Adduhh...," suara rintihan terdengar.
Mata Lisa langsung mengerjap-ngerjap, dilihatnya Anin yang sedang memegang bahu kanannya. "Maaf Nin, gue nggak sengaja," ucapnya buru-buru, menyadari kalau dia mungkin saja telah menabrak Anin.
"Kalau jalan, jangan melamun!" celetuk Anin sambil mengusap-usap bahunya.
Lisa memberikan cengiran lebar. "Sorry deh!"
"Bang Yuda udah pulang?" Anin memperhatikan Lisa yang sedang memasukkan kunci kamar ke lubang kunci.
"Iya, baru saja," jawab Lisa sambil melewati pintu kamar, lantas mendekati dan duduk bersila di depan tasnya yang tadi diletakkan begitu saja di lantai keramik, berniat untuk memilah-milah pakaian kotor sekarang.
"Oh ya, ada yang ingin gue tanyain, gue bener-bener penasaran banget nih." Anin memperhatikan raut muka Lisa. Menurutnya, apa yang dialami cewek itu merupakan keganjilan yang patut dipertanyakan, kenapa Lisa bisa terjatuh di lereng bukit, padahal jelasnya jalan setapaknya cukup lebar. Yah, meskipun cahayanya agak remang-remang, tapi masih bisa terlihat jelas dengan mata telanjang. "Kok lo bisa jatuh sih?"
Pergerakan tangan Lisa spontan berhenti, sedikit terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan Anin yang sekarang sedang baring-baring santai di atas kasurnya. "Mungkin sedang sial saja," jawabnya.
"Apa mungkin lo didorong sama teman sekelompok Lo?" tebak Anin. Alisnya sedikit terangkat melihat reaksi Lisa yang mengalihkan kontak mata mereka, menunjukkan kalau dia sedang menyembunyikan sesuatu. "Beneran lo didorong sama teman sekelompok lo?" tanya Anin lagi, kini sedikit mendesak.
"Nggak kok, nggak mungkinlah," bantah Lisa yang sekarang menyibukkan diri lagi dengan pakaian yang sudah terpilah-pilah tersebut.
"Apa Amira pelakunya?"
Lisa kontan menoleh kepala ke Anin dengan pupil membesar.
"Sudah gue duga," tukas Anin.
"Kok lo bisa tahu?"
"Jadi memang benar dia?" tuduh Anin. "Kata Dewik dan Clara, dia meninggalkan lo sama Amira, makanya gue curiga kalau dia yang dorong lo. Lagian gue sejak awal sedikit merasa aneh dengannya, di depan kita sih dia memang bersikap ramah, tapi gue sering melihat dia dengan tatapan kebencian saat mandang lo," ceritanya sambil mengingat-ingat beberapa kali dia menangkap sikap Amira itu. "Memang lo ada masalah apa sama dia?"
Lisa menggeleng. "Entahlah. Gue nggak tahu. Gue aja baru ngomong sama dia, kan, baru- baru ini."
"Apa nggak sebaiknya lo lapor ke polisi? Perbuatannya sama saja dengan rencana pembunuhan, dia bisa masuk penjara."
Lisa menggeleng. "Nggak! Jangan! Dia pasti punya alasannya."
"Gue jadi pengen tahu alasannya," sahut Anin dengan mendengus kasar, terdengar jelas ketidaksukaan di nada bicaranya.
"Gue rencananya mau ngomong sama dia nanti," ujar Lisa sebelum berdiri sambil membawa tumpukkan pakaian kotor menuju kamar mandi, berniat untuk merendam dulu sebelum mencucinya nanti.
"Perlu gue temani?" tawar Anin, dia bangun dan berdiri, kemudian mengambil sebuah amplop yang tiba-tiba menarik perhatiannya.
"Nggak perlu Nin, gue bisa sendiri. Inikan masalah diantara kami," sahut Lisa dari dalam kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Connected
RomanceSungguh gila! Setelah hampir empat tahun sejak mereka putus dan sekarang bertemu lagi di Universitas Bakti Nusantara, Lisa tak menduga kalau Yuda akan bersikap dan bertindak seperti ini. Pertama, dia mengaku-ngaku sebagai pacar Lisa kembali. Kedua...