Tidak ada yang lebih menyejukkan dari udara pantai di pagi hari. Serta suara deburan ombak yang terdengar menenangkan.Di bawah sinar matahari yang masih nampak malu-malu untuk menunjukan kemegahannya, seseorang memilih untuk mengayunkan kedua kakinya bergantian. Berlari mengelilingi pantai dengan handuk melingkari leher dan juga airpods di kedua telinganya. Bulir keringat mulai membanjiri kaus hitamnya, namun pria itu tak kunjung juga menghentikan langkah.
Ini adalah hari terakhirnya di pulau Lombok. Mungkin suatu hari nanti ia akan merindukan tempat ini. Rindu pada keindahan alamnya, juga suasana tenang yang sulit sekali didapatkan jika sudah kembali ke ibu kota. Mungkin benar kata orang, semakin dewasa dan berumurnya seseorang, hal yang paling dirindukan justru ketenangan. Penat pada pekerjaan, suasana bising, juga polusi udara. Pulau Lombok adalah penyembuhnya.
Pria pecinta ketenangan itu adalah George Abraham Delovano.
Sesaat George menghentikan langkah kakinya hanya untuk mengeluarkan handphone dan mengambil foto pemandangan yang menurutnya lebih dari layak untuk diabadikan. George mengarahkan kamera handphone-nya ke arah laut. Beralih pada langitnya, juga butir-butir pasir yang sedikit basah karena ombak. Jika bisa George ingin kembali lagi ketempat ini, suatu saat ketika dirinya sudah tidak sendirian. Mungkin dengan seseorang yang bisa ia panggil dengan sebutan istri?
George menggerakkan tangannya, mencari pemandangan terbaik untuk kembali diabadikan. Namun, pergerakan tangannya terhenti saat melihat ada gumpalan berwarna abu-abu tertangkap kamera handphone-nya.
Dua jarinya segera menyentuh layar, memperbesar fokus pada gumpalan abu-abu yang belakangan ia ketahui adalah manusia. Meski belum terlalu jelas, George sudah dapat menebak siapa manusia yang saat ini sedang berjongkok di atas pasir pantai.
Cukup mengherankan lantaran manusia itu adalah makhluk siang. Sulit percaya melihatnya di saat matahari bahkan belum sepenuhnya memunculkan diri.
George memasukkan airpods ke dalam kantung celana training. Alih-alih berlari, George memilih melangkahkan kakinya perlahan. Bibir George menyunggingkan senyuman geli saat sayup-sayup mendengar gerutuan gadis dengan cardigan abu-abu itu.
"Buset dingin banget!" Ucapnya seraya meluk tubuhnya sendiri dengan sebelah tangan yang terbebas, sementara tangan lainnya memegang Go-pro.
Saat jaraknya sudah cukup dekat, George semakin memperlambat langkahnya. Sebisa mungkin mendekat tanpa menimbulkan kegaduhan. George sengaja berhenti di belakang tubuh gadis itu, ikut berjongkok. Mengamati gerak-geriknya.
Dalam jarak sedekat ini, George dapat menghirup harum bayi yang cukup kuat dari tubuh mungil gadis di hadapannya itu. Anak rambutnya tertiup oleh angin, membuat George seperti terbius. Tidak mampu mengalihkan pandangannya sedetik pun.
Aneh, seharusnya tidak ada yang lebih menyejukkan dari lembabnya udara pantai di pagi hari. Tidak juga menenangkan seperti suara deburan ombak.
Seharusnya.
George mengerjapkan kelopak matanya perlahan, menatap lekat gadis di hadapannya. Entahlah, mungkin ia memang sudah gila. Sejak menginjakkan kaki di pulau ini, perhatian George seperti terkunci pada satu orang. Dan dari sekian banyak pilihan, perhatiannya justru terjatuh padanya.
Seperti ada magnet yang menariknya paksa. George benar-benar tahu sebuah kesalahan telah terjadi. Peringatan berulang kali memaksanya untuk sadar, namun di sinilah ia berada. Tidak menjauh, tidak juga kembali acuh. Tubuhnya justru terdiam di tempatnya, untuk gadis itu. Cecilia.
Lamunan George terpecah saat tubuh mungil di hadapannya itu tiba-tiba melompat kecil, bergerak-gerak tidak jelas.
"Bisa beku lama-lama!" Cecilia menggigil kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yutubir [END]
RomancePART MASIH LENGKAP "Karena lo gue berhenti jadi yutuber. Yuk, tubir aja!" -Cecilia Yolanda Lestari ••• Memendam cinta sendirian bukan perkara yang mudah. Apalagi kalau tahu seleranya ternyata bukan kamu. Itulah yang dirasakan oleh Cecilia Yolanda L...