Take 13

1.1K 229 45
                                    

Keringat dingin membasahi kening Naruto. ketika Hinata yang jatuh tepat di atasnya, terlihat seperti telah mendorongnya. Seakan menjadi pemicu untuk menarik keluar sebuah ingatan kelam dari alam bawah sadarnya. Alhasil, Asisten Sutradara itu menunjukkan gejala hiperventilasi.

Dadanya naik turun, wajahnya pucat hampir membiru, ia memegang dadanya. Naruto mencoba bernapas dengan baik, namun yang terjadi ia malah semakin bernapas berlebih akibat terkena serangan panik. Sesekali ia terbatuk keras, lalu kembali menghirup udara dengan tempo cepat.

"Naruto-san! be-bertahanlah!"

Hinata segera mencari kantung untuk membantu meredakan Hiperventilasi. Ia membuka beberapa laci di ruang tamu dan di dapur, sampai ia menemukan kantung kertas berwarna coklat. Ia segera menghampiri Naruto, mencoba membantu pria pirang itu mengambil napas dengan bantuan kantung kertas.

Butuh beberapa kali tarikan napas sampai akhirnya Naruto membaik. Air mukanya sudah tidak membiru walau masih nampak pucat. Tangan yang semula mencengkram erat baju bagian dada, jatuh terkulai lemas. Hinata berusaha membaringkan pria malang itu, dengan hati-hati telapak tangannya menaruh kepala berambut pirang di atas bantal.

Naruto beberapa kali menghela napas pelan, sambil memejamkan mata dan raut wajah yang terlihat tersiksa. Saat Hinata hendak beranjak untuk membuatkannya minuman hangat, tangannya di tahan. Sontak ia berbalik, kedua pasang mata berbeda warna itu bertemu.

"Tetaplah di sini..."

Seperti sengatan lebah, melihat sosok Naruto saat ini membuat Hinata ingin memeluknya. Mengatakan bahwa semua baik-baik saja, tidak perlu ada yang ditakutkan. Perlahan ia kembali duduk di samping sofa tempat pria itu berbaring. Ia mengusap pelan tangan kekar yang tidak mau melepaskan tangannya.

"Aku di sini, tidak perlu cemas, Naruto-kun." Hinata memilih mengubah cara ia memanggil pria pirang itu. "Tidurlah, saat kau bangunpun aku masih di sini."

Mencoba untuk menidurkan dan membuat Naruto tenang, ia menepuk pelan tangan dan mengusap puncak kepala pria bermarga Uzumaki itu. Perlahan mata biru langit itu mulai menutup, deru napasnya mulai ringan dan pelan.

...

Saat itu hujan tidak juga berhenti turun, langit tetap kelabu, dan petir terus menyambar. Rumah berlantai dua itu tampak sepi, kedua orang tuanya belum pulang bekerja, dan ia masih fokus belajar mengerjakan soal matematika.

"Naruto, kau salah menggunakan rumus." Wanita berambut merah itu menunjuk salah satu nomor dengan suara lembut.

"Benar juga, maaf Sarah-sensei." Naruto tertawa malu, ia lalu menghapus dan mengerjakan ulang dengan rumus yang berbeda.

Namun tangannya yang sedang menulis berhenti seketika, ketika guru bimbel yang dipanggil oleh Kushina, tiba-tiba menggenggam tangannya. Mata biru langitnya mengerjap, ia menoleh, menatap heran pada Sarah yang melihatnya dengan tatapan yang berbeda dari biasanya.

"Ne, jika murid melakukan kesalahan tentu sebagai guru harus memberi hukuman, benarkan?" perlahan wanita berusia dua puluh tahun itu mendekatkan dirinya.

"A-haha! jangan terlalu keras padaku, Sarah-sensei." Naruto tertawa renyah.

"Ei~aku sebagai guru harus tegas!" Sarah mulai meremas tangan Naruto, membuat sang pemuda menegang. "Ne~ Naruto." panggilnya manja.

Ia bahkan sengaja membuat bagian dadanya lebih maju, dan menempel di lengan Naruto. Sambil menyelipkan rambut di belakang kuping, Sarah menatap intens pada muridnya yang baru menginjak kelas tiga sekolah menengah atas.

"Kira-kira aku harus menghukum dengan cara apa?"

Merasakan firasat buruk, Naruto beranjak berdiri, mundur beberapa langkah. Raut wajahnya mencoba setenang mungkin, walau pada nyatanya ia sudah merasa risih. Ia tidak pernah mengalami situasi seperti ini.

"Maaf, Sarah-sensei. Sepertinya lebih baik Sensei pulang saja. Aku tidak enak badan, mari aku antar." Ia sudah berniat membuka pintu, berusaha kabur dari situasi ini.

Tetapi tiba-tiba saja tangannya ditarik, mengejutkannya hingga tubuhnya limbung, jatuh di atas ranjangnya sendiri. Ketika Naruto membuka mata, wanita berambut merah itu sudah berada di atasnya, duduk di atas perut dan mengunci kedua tangannya.

"Jangan takut," bisiknya pelan. "Sensei akan mengajari sesuatu pada Naruto."

Seharusnya saat itu ia memberontak, mengingat kekuatan laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Namun jangankan bangkit, ataupun menampar wanita itu. Naruto bahkan tidak tahu caranya berteriak. Tubuhnya saat itu membeku, pikirannya kosong, dan ia hanya menurut. Membiarkan tangan dingin itu meraba seluruh tubuhnya. Hanya diam ketika pakaiannya dilepas, dan berubah tuli ketika mendengar desahan menjijikan itu.

Sejak hari kelabu itu, senyum tawa dari Namikaze Naruto padam.

...

Suara erangan terdengar sebelum Naruto membuka matanya. Rasa pening menyerangnya sesaat, membuat ia memijat pelan pelipisnya. Setelah sadar sepenuhnya, atensinya memerhatikan sekitar. Ia masih berada di kamarnya, dan saat merasakan tangannya hangat, Naruto menoleh.

Matanya mengerjap, terkejut ketika mendapati Hinata tertidur pulas di sampingnya. Rasa hangat yang ia rasakan juga berasal dari genggaman yang masih terpaut. Perlahan raut wajah Naruto berubah lembut, mata birunya menatap sayang pada wanita yang telah mencuri hatinya.

"Sudah sepuluh tahun dan ternyata yang berubah bukan hanya diriku." Naruto kembali berbaring, ia menghadap sisi kanan agar bisa melihat wajah tidur Hinata. "Aku berharap kau berubah menjadi lebih ceria seperti sekarang, karena sebuah alasan yang baik. Tidak sepertiku."

...

Aroma manis tercium samar, menggelitik untuk membuatnya membuka mata. Hinata mengerjap beberapa kali, menarik tangannya ke atas, dan membunyikan tulangnya yang pegal akibat tidur dengan posisi tidak nyaman.

"Naruto-kun?" panggilnya begitu tidak mendapati sosok pria kuning yang seharusnya tidur di sofa.

"Kau sudah bangun, Hinata?"

Sang gadis segera berdiri, mencari asal suara Naruto sampai ia menemukannya di dapur. Pria jangkung dengan bibir tipis itu tersenyum manis, ia mendekat, memberikan secangkir susu panas pada Hinata.

"Terima kasih, kau tidak meninggalkanku sendirin di sini."

Hinata harus benar-benar memegang cangkir dengan erat, jika tidak mau membuat benda ringkih itu terjun bebas ke lantai kayu. Hatinya ternyata belum kebal melihat senyuman Naruto. Berulang kali ia selalu mengucapkan terima kasih pada masker hitam yang biasa menutupi separuh wajah pria itu. Jika tidak mungkin akan banyak korban berjatuhan tiap kali Naruto tersenyum.

"Ka-kau sudah mendingan?"

Usai menyesap pelan coklat panasnya, Naruto mengangguk. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika tidak ada dirimu, Hinata. Sekali lagi terima kasih."

"Kau tidak perlu berterima kasih," Hinata tidak yakin haruskah ia mengungkit masalah itu ketika Naruto sudah lebih baik. "Sepertinya aku tidak sengaja membuatmu kaget."

Sejenak keduanya sama-sama terdiam. Tenggelam pada pemikiran mereka masing-masing. Membuat suasana berubah canggung. Sampai Hinata membuka suara setelah menaruh gelasnya.

"Aku..., aku pamit, ya. Takut terlalu larut saat pulang."

"Sebentar, Hinata." sebelum gadis itu berbalik, Naruto sudah menahannya terlebih dulu. "Aku belum bisa cerita sekarang, tapi bisakah kita tetap bertemu? dan membuat film bersama?"

Hinata tersenyum cerah, ia mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya. "Tentu saja! sebenarnya aku ini penggemar Naru nomor satu!"

Alhasil Naruto ikut tertawa.

"Dan..., kau tidak perlu cerita jika itu berat. Karena aku lebih tertarik dengan Uzumaki Naruto yang sekarang." Hinata kembali berujar sambil menatap Naruto lekat.

.

.

.

Continue....


ASMR Boyfriend [NARUHINA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang