Take 16

1.3K 257 29
                                    

Langit berbintang menjadi pemandangan di sebuah villa yang terletak di daratan tinggi. Udara dingin dan sejuk membuat Naruto memejamkan mata. Menikmati sepoi angin malam di salah satu taman. Ia duduk di bangku kayu dengan sebuah pohon tua rindang di belakang.

Dengan celana training dan jersey hitam, dengan dalaman kaos putih. Kali ini Naruto tidak memakai maskernya, membuat wajah tampannya terlihat jelas walau sekelilingnya minim pencahayaan.

Sekitar lima meter, Hinata berdiri di sana, memerhatikan sosok Naruto dari kejauhan. Ia sudah sampai sekitar dua menit yang lalu, namun mata peraknya malah terpaku. Menikmati pemandangan di depan, sosok sang pemuda pirang terlihat bagaikan sebuah lukisan. Mengapa sang pria terlihat berbeda dari yang lain, seakan dunianya lebih berwarna, dan membuat wajah terasa panas.

"Na-Naruto-kun," panggilnya dengan suara serak, membuat Hinata segera berdehem pelan. Ia lalu melambaikan tangan ketika manik biru laut menatapnya. "Terima kasih sudah menunggu, aku senang kau memanggilku."

Rambut pirang yang selama ini terlindungi topi hitam, bergoyang pelan ketika ia berdiri. Naruto tersenyum tipis, sampai membuat kedua matanya terpejam seperti seekor anak rubah. Ia mengulurkan segelas coklat panas yang dibuatnya sebelum kemari.

"Aku juga senang, kau mau menemaniku."

"Ah, terima kasih." Usai menerima coklat panas dari Naruto dan duduk di bangku kayu, Hinata menyesap pelan minumannya. "Hangat sekali," katanya dengan pipi merona.

Naruto mengangguk, ikut menyesap minumannya dengan mata terpejam. Keduanya menikmati manis pahitnya coklat, dan dada mereka yang menghangat. Ketika isi cangkir tinggal separuh, Hinata akhirnya memberanikan diri bertanya. Sudah sejak awal ia ingin cepat-cepat bertanya pada sang pemuda.

"Mengapa kali ini kau tidak memakai masker? apa kita akan syuting di sini?"

Naruto segera menaruh cangkir plastik di sisi paha kanan, ia menggaruk tengkuk walau tidak gatal. Sudut bibirnya tertarik ke atas, tersenyum malu. "Maskerku ketinggalan."

Jawaban singkat yang tidak pernah Hinata duga. Ia tidak bisa mengatur ekspresinya, hingga membuat Naruto menunduk malu.

"Se-setelah selesai menaruh barang-barang, aku melihat taman ini ketika di lorong villa." Katanya dengan sedikit tergagap. "Tiba-tiba aku teringat, kalau akhir-akhir ini Hinata yang biasa ceria terlihat murung." lanjutnya lagi sambil menatap sepasang rembulan.

Hinata sedikit tertegun, tidak menyangka akan diperhatikan sampai seperti itu. Ia tertawa tanpa suara, menghindari tatapan Naruto.

"Terima kasih sudah khawatir, tetapi ini bukan masalah besar, hanya..."

"..."

"Kalau kau tidak ingin membicarakannya, tidak masalah." ujar Naruto setelah agak lama terdiam. "Karena kau merasa tidak perlu mengatakannya, aku tidak akan bertanya atau memaksamu."

"Kau berbeda," Hinata terkekeh pelan. "Biasanya orang lain akan semakin penasaran. Mencoba mengorek dan mencampuri masalah orang lain, hanya untuk keingin tahuan mereka."

"Yang ingin Hinata tahu adalah Uzumaki Naruto yang sekarang, begitu pula denganku." Tatapan yang Naruto berikan begitu kokoh, membuat darah Hinata berdesir pelan. "Bukankah kau juga sama?"

Kata demi kata yang ia rajut membuat dada Hinata bergemuruh pelan. Ada segelitik rasa geli di perut, bulu kuduknya bahkan meremang. Namun ia tidak membenci perasaan ini. Justru semakin pria itu membicarakan dirinya, semakin dalam tatapan yang Hinata berikan.

"Aku ingin tahu apa kau masih murung, karena itu tanganku sudah lebih dulu mengirimkan pesan. Meminta untuk bertemu seperti ini, dengan secangkir coklat panas. dan berharap bisa membuatmu ceria kembali."

Kedua pasang mata berbeda warna itu masih bertemu, bersitatap membawa getaran aneh, lalu seakan menyatu, menjadi sebuah pusaran, menerjang dalam ke dalam relung hati masing-masing.

Perlahan Naruto memberanikan diri, mencoba mengalahkan rasa takutnya. Mencoba bersikap berani, egois, mengikuti kata hati. Jemari panjang nan kekar bergerak mendekat, menyentuh kulit lembut pemilik hati. Menghantarkan sebuah listrik kecil hingga keduanya mengerjap pelan. Detik berikutnya, telapak tangan besar itu merengkuh tangan kecil sebelum saling mengaitkan jari-jari mereka.

Hinata tidak tahu, sejak kapan wajah Naruto berada begitu dekat dengannya, hingga napas panas dapat ia rasakan. Terlebih ketika keningnya terantuk, bertemu dengan kening pemuda pirang. Tanpa memutuskan kontak mata keduanya, pikirannya semakin tenggelam.

Kedua atensi itu sama-sama turun, mengalihkan fokus mereka pada satu titik. Sepasang bibir yang sudah terbuka sedikit, seakan siap menyambut satu sama lain. Ibu jari Naruto terangkat, menyentuh pelan bibir bawah Hinata, mengusap pelan, lalu menarik dagu sang gadis.

"Bo-bolehkah?" suara Naruto sedikit tergagap ketika meminta izin.

Hinatapun tidak kalah canggung, kinerja otaknya sudah berhenti berfungsi sejak menatap mata samudra di depannya. Tidak mampu mengatakan apapun, alhasil ia memilih menutup mata dan mendorong tubuhnya ke depan. Membiarkan bibirnya menempel di atas bibir tebal Naruto.

Saat Naruto merasakan sentuhan panas di bibirnya, ia seakan berhenti bernapas. Bukan karena rasa takut seperti dulu, perasaan ini lebih tertuju pada ketegangan yang meletup begitu saja.

Ia sedikit canggung ketika mengecup bibir Hinata. Pelan dan hati-hati, seakan bibirnya sedang menyentuh benda paling rapuh di dunia. Tiap sentuhan yang Naruto berikan, seakan menghantarkan listrik tepat ke jantung Hinata.

Udara malam itu termasuk cukup dingin, dengan embusan angin malam. Namun bagi Naruto dan Hinata, saat ini keduanya lebih merasakan rasa panas. Suhu tubuh mereka berdua seakan naik beberapa derajat.

Tangan yang semula dingin, menjadi hangat ketika saling terpaut. Bibir kering kini basah dan sedikit bengkak, ketika keduanya mulai berani untuk melumat dan menggigit bibir pasangannya.

Suara decapan pelan terdengar, ketika akhirnya Naruto mengakhiri ciuman mereka. Mata biru lautnya sedikit bergetar, ketika ditatapnya sosok Hinata yang sudah berkaca-kaca dengan wajah memerah.

Penampilan manis dengan rambut sedikit berantakan itu, membuat Naruto menelan ludah. Sejak kapan salah satu tangannya sudah memainkan rambut panjang Hinata. Pemuda pirang itu sedikit lega, karena ia masih mampu mengontrol dirinya.

Sang pemuda menarik diri, berdehem pelan. "Sebaiknya kita kembali, sebelum terlalu malam."

Hinata hanya mengangguk, kesadarannya belum kembali sepenuhnya. Bahkan ia tidak sadar ketika Naruto menggenggamnya, mengantar dirinya sampai di depan kamar villa.

"Selamat malam, Hinata." Bisiknya di samping telinga, lalu menjauh. Naruto tersenyum manis kemudian berbalik pergi.

Setibanya di kamar, Ino yang masih terjaga sedang menikmati cemilan malam menyambutnya. "Selamat datang."

Hinata tidak menjawab, ia masih terdiam di depan pintu. Isi kepalanya masih dipenuhi dengan kejadian di taman tadi. Perbincangan mereka, tatapan intens mereka, sampai..., rasa pahitnya coklat masih membekas di bibir.

Tidak mampu memroses lagi, kinerja otak Hinata berhenti berfungsi. Kepalanya terlalu panas, wajahnya sudah merah padam, sampai akhirnya ia malah jatuh pingsan.

"Loh?! HINATA-CHAN? KENAPA PINGSAN?!"

.

.

.

Continue...

Hari ini aku update sebelum jam 7 malam, takutnya aku ganggu kalian malam mingguan kayak NaruHina.

*eh tolong aku kaget, masuk 2 besar kategori NaruHina dong. Terima kasih semua ;*







ASMR Boyfriend [NARUHINA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang