Take 18

1K 215 38
                                    

Sudah sekitar sepuluh menit keheningan menyelimuti Naruto dan Hinata. Sejak mereka tiba di taman, tidak ada yang membuka suara. Keduanya hanya duduk di bangku taman, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Bagaimana caranya untuk memulai?

Apa yang ingin dijelaskan?

Mengapa hubungan ini berubah canggung?

Ada begitu banyak yang ingin mereka berdua utarakan, namun semua kata-kata seakan tersendat di kerongkongan. Sampai akhirnya, Hinata memutuskan untuk bangkit, berniat kembali ke villa, karena tidak mampu mengeluarkan isi hatinya.

"Jika tidak ada yang ingin dibicarakan, bisakah aku kembali? aku harus mengurus jadwal Ino."

Naruto menggigit bibir bawahnya, tidak ingin semua ini berlarut meninggalkan rasa pahit di ujung lidah. Sebelum Hinata pergi, ia meraih tangan sang gadis, menahannya untuk pergi. Mata biru langit terlihat bergetar, pemiliknya ikut berdiri, mendekat tanpa melepaskan kontak mata.

"Tahun ke-tiga di sekolah menengah atas Konoha," Naruto memulai dengan suara pelan, "Kita pernah bertemu saat itu Hinata."

Pernyataan mengejutkan itu berhasil menarik atensi Hinata. Putri sulung Hyuuga sudah tahu mengenai hal itu, ia senang karena Naruto mau mulai cerita, namun juga tidak mengerti mengapa topik ini dibahas tiba-tiba.

"Saat itu adalah tahun terburuk dalam hidupku, sangat buruk hingga aku seperti kehilangan jati diri." Naruto melepaskan tangannya, ia lalu menunduk, tidak berani menatap Hinata. "Orang tuaku bercerai dan itu semua adalah salahku, karena aku menjadi korban pelecehan seksual,"

Mata rembulan itu melebar dengan raut terkejut yang kentara. Hinata merasa seperti disiram air dingin, membuat tulangnya nyeri dan kaku disaat bersamaan. Apakah ia boleh mendengar cerita ini? boleh ia mengetahui rahasia ini? dan apakah Naruto tidak apa-apa menceritakan hal ini padanya?

Kedua tangan Naruto mengepal dan bergetar pelan. Ia tidak bermaksud menceritakan kisah masa lalunya di saat seperti ini. Apa yang ingin dia katakan adalah permintaan maaf karena telah mencium Hinata, telah membuat gadis itu menjadi risih padanya. Bukan menjadi sosok menyedihkan yang seakan menjual kisah tragisnya untuk membeli simpati dan maaf seseorang.

Ketika Hinata meraih kedua tangannya, saat itulah hatinya yang berat seakan berubah ringan. Suara lembut dan menenangkan itu menyapu indra pendengaran Naruto, membuat gemetarannya berhenti.

"Naruto-kun tidak salah, mereka bercerai karena tidak sanggup menanggung rasa bersalah atas apa yang menimpamu." Hinata perlahan mendekat, ia menaruh keningnya di dada bidang Naruto, mendengar samar-samar detak jantung sang pria. "Terima kasih sudah bertahan, aku tahu pasti berat rasanya, tapi Naruto-kun berhasil melewatinya, sampai akhirnya kita bertemu."

Hinata mengangkat kepalanya, memandang wajah Naruto yang sejak tadi menunduk. Melihat lebih jelas bagaimana mata biru laut itu berkilau indah dengan tetesan air mata. Sang gadis tersenyum hangat, menaruh telapak tangan di pipi pemuda pirang, menghantarkan rasa hangat yang menenangkan.

"Ini semua berkatmu, Hinata." ia terisak pelan, lalu menyeka air mata dengan telapak tangan. "Sejak pertama kali kita bertemu, aku ingin mengucap terima kasih karena telah menguatkanku saat itu. Telah menghentikanku untuk berpikir mengakhiri nyawa tidak berharga ini."

Hinata meraih tangan Naruto yang menutupi wajahnya, ia membantu menyeka tetesan hujan yang tidak juga reda dengan ujung sweaternya. Mata perak itu menatap lurus, mendengarkan tiap kata yang diutarakan pria di depannya. Baginya kata-kata itu sangat berharga, dan ingin ia simpan ke dalam memorinya.

"Aku senang, ketika bertemu lagi denganmu. Kau berbeda saat sekolah dulu, tapi sinar lembutmu masih sama. Kau juga masih cantik seperti dalam ingatanku."

Pipi putih Hinata merona merah mendengarnya, terlebih ketika perlahan tatapan Naruto berubah teguh dan intens menatapnya. Kemana perginya sosok pria pirang yang menangis seperti anak kecil beberapa saat lalu?

"Sekarang aku tahu, mengapa dengan lancarnya aku menceritakan masa laluku." Naruto membalas genggaman tangan Hinata, lalu mengaitkan keduanya. "Aku ingin kau tahu ceritaku, mengenali kekuranganku, dan berharap kau menerima diriku apa adanya. Karena aku mencintaimu Hinata, aku ingin berada di sisimu, sebagai kekasihmu, teman hidupmu."

Kali ini giliran sepasang rembulan menahan genangan air mata, namun ini adalah hujan kebahagiaan. Hinata memang menginginkan kejelasan dari ciuman itu, namun betapa bodoh dirinya yang masih mempertanyakan perasaan Naruto terhadapnya. Ketika dengan jelas, pria itu menunjukkannya.

Sepasang kaki berbalut sepatu flat berjinjit pelan, pemiliknya mencoba memberikan kecupan di bibir. Hinata tersenyum manis usai memberikan kejutan kecil pada Naruto. Ia tertawa pelan melihat raut dungu sang pemuda yang terkejut. Sebelum detik berikutnya sang gadis tersentak pelan ketika pinggangnya ditarik dan bibirnya dilumat pelan.

Naruto memeluk pinggang ramping Hinata, salah satu tangannya menarik dagu sang gadis agar memperdalam ciumannya. Ketika mulut kecil itu terbuka, dengan cepat lidah sang pria menelusup masuk, menekan dan menghisapnya. Suara decapan kini mendominasi malam itu, lalu disusul desahan pelan yang lolos dari bibir Hinata.

Ketika ciuman itu berakhir dengan menyisakan benang tipis pada kedua bibir, Hinata berpikir mereka akan kembali ke villa. Namun nyatanya, Naruto masih ingin bersama, masih ingin memeluknya. Ketika bibir itu berada di dekat telinga sang gadis dan berbisik pelan, bulu kuduknya meremang.

"Ino-san mengunci pintu kamarmu, jadi bisa kita bersama lebih lama?"

Naruto tertawa pelan melihat wajah Hinata sudah merah padam, ia menyeringai tipis. Dengan tiba-tiba, pemuda itu menggendong gadisnya, ia lalu duduk di bangku taman, dan membuat gadis bermata bulan itu duduk menghadap dirinya di atas pangkuannya.

"Na-Naruto-kun, ini sedikit memalukan," ujar Hinata dengan terbata, ia menurunkan tatapan matanya. Tidak berani bersitatap terlalu dekat dengan sepasang samudra di depannya. Terlebih dengan posisi seperti ini, ia merasa jantungnya siap meledak kapan saja.

Asisten Sutrada itu hanya tersenyum kecil, ia bahagia dapat memerhatikan wajah Hinata begitu dekat. Melihat pipinya yang putih dan gembil, menatap cantiknya mata perak dengan bulu matanya yang panjang. Dan hal yang lebih membuat Naruto senang adalah ia dapat memeluk tubuh mungil yang selama ini ia inginkan.

Pemilik marga Hyuuga itu terdiam saat Naruto tiba-tiba memeluknya, ia seakan lupa caranya bernapas. Ketika kesadarannya kembali, Hinata mulai membalas pelukan itu. Telapak tangannya meraba pelan, merasakan setiap otot dan punggung lebar pria dalam dekapannya. Ia lalu memejamkan mata, mencium aroma mint yang menguar dari rambut pirang yang berada bawah dagu.

"Seandainya saja waktu berhenti saat ini," Naruto berbisik pelan, mengucap harapannya yang sama seperti yang dipanjatkan Hinata.

"Um, aku juga berharap begitu, Naruto-kun.."

Perlahan Naruto mengangkat kepalanya, tanpa melepaskan pelukan hangatnya, ia kembali mencium Hinata. Rasanya seperti mimpi, bagaimana saat ini ia memeluk dan mencium seseorang. Mengingat semenjak kejadian buruk itu, Naruto mengalami trauma dan tidak suka jika disentuh seseorang.

Tapi lihatlah saat ini, ia membiarkan Hinata menyentuhnya, memeluknya, memainkan rambut pirangnya dan bahkan memberikan tanda cinta di lehernya. Jika ini adalah mimpi, maka Naruto tidak ingin terbangun, biarkan dirinya tertidur saja, jika itu artinya ia bisa selamanya memeluk Hinata, menciumnya, dan menghirup aroma manis tubuhnya.

.

.

.

Continue...

Terima kasih yang udah kangen sama cerita ini dan diriku, komen kalian selalu menjadi bahan bakar buatku lanjut nulis. love you all

ASMR Boyfriend [NARUHINA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang