Chapter 2

123 9 0
                                    

"Kak."

Suara menjengkelkan itu terdengar lagi. Aku sudah bangun dari pertama kali dia memanggilku dan menggoyang-goyangkan badanku. Hanya saja aku masih ingin tidur. Pergi sana, Ra!

"KAK ARI!!" Suaranya jauh lebih melengking dari sebelumnya. Adik perempuanku ini memang selalu menjengkelkan.

"Apaan elah!" Aku langsung duduk dan menatapnya kesal.

Ra tersenyum seolah tidak peduli aku kesal padanya. Dia lalu bangkit dan berbalik menuju pintu kamar. Apa-apaan dia?!

"Udah bangun tuh, Ra tinggal ya kak," katanya pada Edgar yang berdiri di tengah ruangan. Dia melambaikan tangan tanpa menoleh.

"Thanks ya, Ra," balas Edgar sambil tersenyum.

Ternyata dia bisa tersenyum juga, kukira dia hanya bisa bermuka masam seperti yang diperlihatkannya sepanjang malam kepadaku.

Edgar berjalan menuju ke arahku. "Kenapa tidur di sofa?"

Karena kamu. Aku menjawab cepat dalam hati. Semalam semuanya terasa aneh. Setelah dia selesai mandi, aku gantian mandi. Begitu selesai, kulihat dia sudah tidur di kasurku dengan tenangnya. Dia terlihat lebih tampan saat tidur begitu. Ah tidak! Dia lebih tampan saat tersenyum seperti tadi.

Jadi yang kulakukan semalam hanya duduk di tepi kasur dan menatapi wajahnya yang tidur dengan damai. Entah apa yang merasukiku, aku bahkan belum mengenalnya sama sekali. Seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk terus menatapinya. Saat aku terpikir bahwa aku tidak akan bisa lepas dari 'dunia' ini jika aku terus memandanginya, aku bangkit dan langsung lari ke sofa.

I am gay. No! I was gay!!

Kejadian dengan dia, orang pertama yang tidur di kasurku, tidak ingin kuulangi kembali. Kejadian yang membuatku kehilangan orang paling spesial dalam hidupku. Aku tidak bisa membayangkan kalau hal itu terjadi dengan Edgar. Kami bahkan belum tahu nama panjang masing-masing dan aku sudah berani untuk melakukannya? Lebih baik aku mencegahnya dengan tidur di sofa.

Aku tahu diriku, sekuat apa pun aku mencoba, aku selalu kalah pada godaan. Apalagi dengan cowok setampan Edgar. Ah tapi mukanya masam lagi pagi ini. Hal bagus sih, karena aku tidak tertarik saat dia begitu.

"Gak pa-pa," jawabku setelah jeda cukup lama. "Gue tidurnya rusuh, ntar lu ketendang-tendang."

"Masa? Dari tadi gue liatin lu tidur di sofa ga gerak sama sekali."

What??? Lu ngeliatin gue tidur?? Pikiranku ngalor-ngidul membayangkan yang terjadi.

"Lu tidur dikasur malam ini. Gue tamu, gue yang harusnya tidur di sofa."

"Karena lu tamu, jadi gue harus memperlakukan lu sebaik-baiknya," aku berkilah.

Dia diam sambil menatapi handuk yang ada di tangannya. Dia maju mendekatiku.

"Mandi gih. Abis itu temenin gue."

Tangannya menyodorkan handuk di hadapanku, sebelum aku sempat mengambilnya dia melepas handuk itu sehingga jatuh di pangkuanku. Sial, tabiatnya menyebalkan. Kenapa aku harus terjebak dengan orang ini sih? Kalau bukan karena dia anak bos papa, sudah kuhabisi dia. Seperti tidak pernah diajarkan sopan santun saja.

"Ke?"

"Beli baju," jawabnya sambil berbalik memunggungiku.

"Gue udah ada rencana hari ini."

"Batalin."

"Hei, siapa lu nyuruh-nyuruh gue?"

Kepalanya menengok ke belakang sedikit tanpa memutar badannya. Dengan mimiknya yang menyebalkan dia menjawab, "gue tamu lu, jadi lu harus memperlakukan gue sebaik-baiknya."

Aku cengo. Senjata makan tuan. Tanpa permisi dia meninggalkan kamar. Aku baru sadar kalau dia sudah rapi. Dia mengenakan celana yang dia pakai semalam dan kaos yang tidak asing. Sial, dia seenaknya mengambil salah satu kaosku untuk dia pakai.

Oh Tuhan, kenapa kau turunkan cowok brengsek ini kepadaku??

Selesai mandi dan berpakaian rapi, aku langsung turun. Dari tangga kulihat mama sedang mengambil piring kosong dari hadapan Edgar dan Ra.

"Tidur jam berapa kamu sih, Ri?" Tanya mama, seperti ingin marah tapi ditahan. Jadi suaranya seperti orang gemas.

"Biasa kok, Ma," jawabku sambil cengengesan sambil duduk di sebelah Ra. Edgar duduk di hadapan Ra.

"Ini sarapan dulu sebelum berangkat." Mama meletakkan piring berisi roti isi untuk sarapanku.

Kulihat Edgar dan Ra saling bertatapan dan mengobrol berdua. Sepertinya mereka sudah mengobrol sejak aku mandi tadi. Percayalah, dengan Ra, kalian tidak akan pernah kehabisan bahan obrolan.

"Jadi gitu, Ra gak boleh sekolah disana karena jauh."

"Enak jadi anak SMA?" Tanya Edgar ramah. Ternyata dia bisa juga ramah pada orang lain.

"Enak dong. Kantin sekolahnya lebih gede dan lebih banyak pilihan. Jumat kemarin Ra nyobain bakso bu budi yang di pojokan. Selama ini Ra kira gak enak karena jarang lihat orang beli, ternyata enak banget. Lebih enak daripada bakso langganan kak Ri di depan komplek."

"Makan mulu dipikirin." Celetukku

"Dih, makan dulu tuh abisin baru ngeledekin orang." Ra membalas.

Aku gemas. Ku toyor kepalanya pelan tapi dia merasa seolah aku memukulnya dengan tongkat kasti.

"Bundaaaa..." Ra merengek sambil memegangi kepalanya.

"Ari," mama melirik kepadaku.

Aku langsung nunduk, pura-pura sibuk makan kembali. Ra tidak tahu malu, sudah 1 SMA masih suka merengek bunda-bunda. Apalagi sedang ada orang asing di depannya, tapi sepertinya mereka sudah akrab. Entah apa yang terjadi antara mereka berdua selama aku tidur.

Dan di sudut mata, aku melihat Edgar tersenyum lagi. Dia memang tampan saat tersenyum.

**

Dia, Edgar (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang