Chapter 3

107 8 0
                                    

Aku, Edgar, dan Ra sampai di mal paling dekat dengan rumah dengan menggunakan mobil Edgar. Mercedes-Benz putih yang semalam menutupi jalanku untuk masuk garasi ternyata mobilnya dan biasa dia pakai ke kampus.

Aku sempat panik karena tidak melihat mobilku di garasi. Garasi rumahku model terbuka (hanya berkanopi) dan cukup untuk dua mobil. Satu-satunya mobil yang parkir adalah merci itu, di tempat biasa aku parkir mobil. Ternyata semalam papa memindahkan mobilku ke lapangan yang cukup jauh dari rumah. Jadilah kami memilih solusi terpraktis yaitu menggunakan mobil Edgar. Ra tidak berhenti norak saat di dalam mobil.

Langkahku terhenti saat aku melihat toko eskrim. Toko dimana harusnya semalam aku bertemu dengan Aini. Aku terpikir lagi padanya tapi dari semalam dia tidak membalas whatsappku. Sepertinya dia benar-benar kecewa karena aku gagal menemuinya.

"Kak, kenapa berhenti? Departemen store-nya masih diujung tuh," Ra menunjuk-nunjuk arah tujuan utama kami datang kesini.

"Eh iya."

Kami bertiga terus bejalan sampai ke ujung mal dimana departemen store berada. Kurasa Edgar bisa mendapatkan semua pakaian baru dari celana dalam sampai jaket disana.

"Nah sampe. Karena Ra janji sama bunda cuma nganter sampai tokonya, Ra duluan ya," Ra berbicara dengan entengnya.

Saat berbalik dan hendak kabur kuraih tangannya."Heh, mau kemana?"

"Mau main sama temen-temen Ra," dia berhasil melepas pegangan tanganku. "Makasih ya kak Edgar tumpangannya."

Tidak ada yang bisa kulakukan lagi untuk menahannya. Adikku itu selalu punya cara untuk mendapatkan kemauannya. Aku mendengus kesal. Mau tidak mau aku harus menemani Edgar sepenuhnya. Padahal tadi sempat ada pikiran untuk meninggalkan Edgar dengan Ra berdua, ternyata adik sialan itu malah meninggalkanku duluan.

Edgar mulai memilih-milih kemeja berbagai model. Setelah ketemu yang cocok, dia meminta nota dan mencari pakaian lainnya. Banyak juga kemeja yang dia beli, rasanya seperti dia punya satu lemari baru dan ingin mengisi semuanya dengan kemeja.

"Baju-baju lu benaran habis semua?" akhirnya keluar juga pertanyaan yang ingin kuutarakan dari tadi.

Edgar melirikku sebal, seolah aku mengorek lagi luka lamanya. Salah satu ujung bibirnya tertarik, bukan tersenyum, lebih ke meledek untuk menjawab pertanyaanku. Menyiratkan balasan jutek, "lu pikir?". Lalu dia kembali memilih-milih celana yang ingin dia beli.

Menyebalkan!

Setelah celana, kami berada di bagian kaos-kaos. Entah sudah berapa banyak nota yang dikantonginya. Yang pasti kalau semua nota itu tidak dia tebus, aku yakin sekali dia akan dilarang masuk mal ini selamanya. Haha.

"Lagi beli dua gratis satu nih, lu mau?" Tanpa ada tanda-tanda, dia tiba-tiba saja menawarkanku baju gratis.

Ah aku masih sebal padanya. Pada tatapan dan seringaiannya yang menjengkelkan padahal aku bertanya baik-baik. "Gak!" jawabku tegas.

"Oke." Singkat, jelas, padat. Tidak ada neko-neko. Entah kenapa malah membuatku semakin sebal.

Rasanya sudah berjam-jam aku dan Edgar berkeliling, tapi saat kulihat jam ternyata masih jam 11 lewat. Baru satu jam dan nota di tangan Edgar sudah cukup tebal. Kurasa itulah bedanya cewek dan cowok saat berbelanja. Cowok lebih efisien waktu karena sudah tahu apa yang ingin dibeli.

Setelah membeli pakaian dasar, termasuk celana dalam, Edgar memutuskan untuk membayar. Kami pun mengantri di kassa.

"Ri."

"Hmm." Aku agak acuh karena sedang membaca chat grup di whatsapp.

"Kok lu manggil nyokap lu mama tapi si Ra menggil bunda? Kalian saudara tiri?"

Dia, Edgar (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang